Kala Gawai Bikin Susah Berkata-Kata

2 hours ago 9

REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Awalnya, Alan (33 tahun) menyangka putranya baik-baik saja. Ia bergerak dengan lincah kesana-kemari bahkan sejak sebelum bisa berjalan. 

Namun, ia tunggu sembilan bulan, setahun, bahkan dua tahun, sang buah hati tak juga kunjung bisa berkata-kata. “Kita kira hanya terlambat sebentar,” ujar pria yang tinggal di Bandar Lampung, Provinsi Lampung tersebut kepada Republika.

Saat ia bawa sang putra ke ahli tumbuh kembang anak, barulah ia paham bahwa anaknya terkena sindrom speech delay alias keterlambatan berbicara. Sang anak juga harus menjalani terapi dan masuk ke sekolah khusus.

Alan mengingat-ingat kembali, bagaimana ia membesarkan anaknya tersebut. “Memang dari kecil sudah kami kasih handphone,” kata dia. Ia suka menonton konten terkait alat-alat transportasi. Jika tak diberi, sang anak tantrum dan mengamuk.

Sejak mengetahui analisis dokter ahli, ia kemudian bertekad mengurangi paparan gawai terhadap anaknya. Pelan-pelan, sang anak mulai bisa berkomunikasi dan bersekolah seperti anak-anak lainnya. 

“Hanya memang sering susah disuruh fokus,” kata dia. Anaknya juga masih sering merengek minta “main hape” meski tak lagi disertai tantrum seperti saat masih kecil.

Kasus yang terjadi pada Alan tersebut bukan tunggal di Indonesia. Bahkan dalam banyak hal lebih parah.

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DPA3KB) Kabupaten Bandung mengungkapkan sebanyak 22 anak menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Cisarua, Kabupaten Bandung Barat periode Januari hingga November tahun 2025. Mereka mengalami kecanduan media sosial (medsos) hingga mengalami gangguan kontrol impuls.

"Sepanjang tahun 2025 sampai dengan data terakhir di bulan November, terdapat 22 kasus anak yang mendapatkan pelayanan pemulihan atau pengobatan di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat," ucap Kepala DPA3KB Jawa Barat Siska Gerfianti dikonfirmasi, Kamis (27/11/2025).

Ia menuturkan, rentang usia anak yang mengalami kecanduan medsos mulai dari anak usia 7 tahun sampai dengan usia 18 tahun. Dengan jenjang pendidikan terakhir yang terbanyak yaitu sekolah dasar. "Klien terbanyak yaitu di usia 15 tahun sebanyak 8 anak," kata dia.

Siska melanjutkan mayoritas diagnosis terhadap anak yang mengalami kecanduan medsos yaitu mengalami gangguan kontrol impuls. Ini kondisi mental yang ditandai dengan ketidakmampuan mengendalikan dorongan untuk melakukan sesuatu yang berulang, yang seringkali membahayakan diri sendiri atau orang lain.

"Seseorang dengan gangguan ini bertindak impulsif tanpa memikirkan konsekuensinya, dan tindakan tersebut bisa menyebabkan tekanan dan masalah dalam kehidupan sehari-hari," kata dia.

Dalam penanganan kasus anak, selain melakukan perawatan dan pengobatan kepada yang bersangkutan, ia mengatakan pihak keluarga diberikan edukasi misalnya mengenai digital parenting, aktivitas alternatif yang menarik bagi anak. Diharapkan orang tua dapat menjadi contoh teladan bagi anak-anaknya.

Pihaknya berkolaborasi dengan Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) dalam rangka digital parenting melalui Program Paaredi yaitu Pengasuhan Anak dan Remaja di Era Digital. Program tersebut disinergikan dengan program Jabar Cekas Jawa Barat Berani Cegah Tindakan Kekerasan.

Siska menambahkan penggunaan teknologi digital yang semakin meluas penuh dengan tantangan khususnya dampak dan ancaman kepada anak-anak apabila tidak dibekali literasi untuk orang tua. Peningkatan pengaduan dari penyalahgunaan teknologi dapat terjadi.

Ia mengajak bersama-sama memberikan edukasi digital dan mempromosikan kebiasaan digital yang sehat. Bagi masyarakat yang memerlukan layanan dan konsultasi dapat menghubungi nomor hotline SAPA 129, atau hotline UPTD PPA Jabar  085222206777, juga hotline Puspaga untuk konsultasi parenting dengan nomor 081214500682.

Selain itu, pihaknya menerima berbagai pengaduan masyarakat melalui unit layanan di UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Selanjutnya penanganannya akan dikoordinasikan apabila memerlukan penanganan dan pendampingan dari instansi lain.

"Seperti laporan pengaduan anak yang kecanduan medsos kami terima dan untuk kebutuhan pemulihannya apabila tingkatannya sudah memerlukan pengobatan, kami tangani bersama-sama dengan rumah sakit jiwa," kata dia.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |