Karya seni sebagai terapi ukan dinilai dari kualitas estetis sebagai keberhasilan melainkan aktivitas berkaryanya membuat emosi menjadi lebih baik.
4 Mei 2025 | 16.52 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Puluhan karya seni sebagai terapi dipamerkan di Galeri Soemardja ITB sejak 2-7 Mei 2025. Bertajuk Bipolar Awareness Week with Art as Therapy, pameran itu juga diiringi serangkaian diskusi panel, lomba debat, tanya jawab masalah mental anak dan remaja, sesi berbagi mengatasi perundungan anak sekolah, serta peluncuran skrining daring masalah kesehatan mental pelajar dan mahasiswa.
Pilihan Editor: Sejarah Lahirnya Artisan dalam Pembuiatan Karya Seni
Pameran Karya Seni dari Karya yang Dihasilkan Sejak 2021
Menurut ketua panitia, Ira Adriati, pameran karya seni seperti gambar, lukisan, kolase, itu buatan dari warga yang dilatihnya untuk berkarya seni sebagai terapi. Sejak 2021 hingga sekarang, Ira yang dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB di kelompok keahlian estetika dan ilmu-ilmu seni, mendampingi penghuni lembaga pemasyarakatan kelas IIA Sukamiskin Bandung khususnya perempuan yang terlibat dalam kasus narkoba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya lain berasal dari pasien sebuah klinik kesehatan mental di Soreang, Kabupaten Bandung, kemudian anak-anak korban gempa di Sumedang. Seni sebagai terapi menurutnya bisa dilakukan oleh semua orang tanpa perlu bakat khusus karena bersifat terapeutik atau untuk membantu proses penyembuhan sakit. “Proses kreatif dalam membuat seni itu adalah healing, dan meningkatkan kualitas hidup juga alat komunikasi,” katanya kepada Tempo, Sabtu 3 Mei 2025.
Bukan Dilihat dari Kualitas Estetis
Seni sebagai terapi, menurut Ira bukan dinilai dari kualitas estetis sebagai keberhasilan melainkan aktivitas berkaryanya membuat emosi diri menjadi lebih baik. Selain itu dipamerkan pula karya dari anak-anak berkebutuhan khusus lewat karya batik dingin Gutha Tamarind yang menggunakan asam jawa sebagai perintang warna atau pengganti lilin panas, serta lukisan pada totebag. Acara itu dihelat ITB bersama Biro Kesejahteran Rakyat Provinsi Jawa Barat dan psikiater dari Ruang Empati Jiwa.
Hari Bipolar Sedunia yang diperingati setiap 30 Maret merujuk pada tanggal kelahiran pelukis tersohor Vincent van Gogh pada 1853 yang mengalami bipolar atau gangguan mental, ditandai oleh perubahan suasana hati secara drastis. Acara peringatan itu juga sekaligus dikaitkan dengan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei sebagai bentuk kolaborasi makna. “Sekaligus menekankan pentingnya edukasi, empati, dan kesadaran kesehatan mental di dunia pendidikan dan kehidupan di masyarakat termasuk melalui pendekatan seni,” kata Ira.
Beberapa acara ikut mengiringi perhelatan pameran yang dibuka setiap hari dari pukul 08.00-16.00 WIB. Setelah diskusi panel dan debat mahasiswa pada dua hari awal, di hari ketiga atau Ahad 3 Mei misalnya tanya jawab seputar masalah kesehatan mental anak dan remaja, strategi mengatasi perundungan pada kalangan pelajar, dan bincang edukatif mengenai autisme. Pada hari selanjutnya bakal ada peluncuran skrining daring masalah psikologi dan perilaku remaja, juga masalah kesehatan mental mahasiswa.