Kata Mahkamah Agung Ihwal Promosi Tersangka Suap Vonis Lepas CPO Arif Nuryanta

3 hours ago 8

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (Dirjen Badilum MA) Bambang Myanto merespons isu promosi hakim Muhammad Arif Nuryanta, terdakwa suap vonis lepas (onslag) perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO), yang terbilang kilat.

Arif Nuryanta tercatat dilantik sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Waka PN Jakpus) pada 17 Januari 2024. Sepuluh bulan berselang, dia dipromosikan menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (KPN Jaksel).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bambang mengatakan, proses promosi Arif Nuryanta sudah sesuai prosedur. Ini tertera dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tentang Pola Promosi dan Mutasi Hakim pada Empat Lingkungan Peradilan. "10 bulan dari Waka PN Jakpus menjadi KPN Jaksel sudah melalui tahapan yang wajar," kata Bambang saat dikonfirmasi Tempo lewat aplikasi perpesanan pada pekan lalu, 18 April 2025. 

Dia menuturkan, sejumlah hal yang menjadi pertimbangan adalah riwayat jabatan, kinerja, pelatihan dan sertifikasi yang dimiliki, maupun prestasi. Secara kepangkatan, lanjut dia, Arif juga sudah bisa menduduki posisi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung Sunarto disebut menyoroti promosi Arif Nuryanta. Hal ini dia sampaikan dalam rapat di lantai 13 Gedung Mahkamah Agung pada Senin, 14 April 2025 atau dua hari usai Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dalam kasus dugaan suap putusan lepas perkara minyak goreng.

Dilansir dari laporan Majalah Tempo Edisi 20 April 2025, seorang penegak hukum yang mengetahui rapat tersebut menceritakan Sunarto sempat menyoroti rekam jejak Arif. Ketua MA itu mempertanyakan proses promosi dan mutasi Arif Nuryanta yang tak sampai setahun.

Kasus Dugaan Suap Vonis Lepas Korupsi CPO 

Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan delapan tersangka suap vonis lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO. Mereka adalah advokat Ariyanto alias Ary Bakri dan Marcella Santoso, panitera Wahyu Gunawan, Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, Head of Social Security and License Wilmar Group Muhammad Syafei, serta majelis hakim perkara korupsi CPO yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.

Menurut keterangan resmi Kejaksaan Agung pada 15 April 2025, perkara ini bermula dari persamuhan advokat Ariyanto dengan panitera Wahyu Gunawan. Pada saat itu, Wahyu mengatakan perkara minyak goreng harus 'diurus'. Jika tidak, putusannya bisa maksimal, bahkan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

Dalam pertemuan itu, Wahyu juga menanyakan ihwal biaya yang disediakan terdakwa korporasi. Namun, Ariyanto belum bisa menjawab karena harus bertanya dulu kepada kliennya. 

Informasi dari Wahyu kemudian disampaikan Ariyanto kepada advokat Marcella Santoso. Marcella lalu bertemu dengan Muhammad Syafei selaku Head of Social Security and License Wilmar Group di restoran Daun Muda, Jakarta Selatan. Kepada Syafei, Marcella mengatakan panitera Wahyu Gunawan bisa membantu mengurus perkara koruspsi CPO yang sedang mereka tangani. Saat itu, Syafei mengatakan sudah ada tim yang mengurusnya.

Dua pekan kemudian, Ariyanto dihubungi kembali oleh Wahyu Gunawan. Saat itu, Wahyu menyampaikan agar perkara ini segera diurus. Ariyanto lalu meneruskan informasi tersebut kepada Marcella. Marcella lalu kembali bertemu dengan Syafei di rumah makan yang sama seperti sebelumnya. Saat itu, Syafei mengatakan biaya yang disediakan korporasi adalah Rp 20 miliar untuk mendapatkan putusan bebas.

Ariyanto, Wahyu Gunawan, dan Muhammad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat bertemu di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur. Dalam persamuhan tersebut, hakim Muhammad Arif Nuryanta mengatakan perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas, namun bisa diputus ontslag. Ia lalu meminta uang Rp 20 miliar dikali tiga, sehingga menjadi Rp 60 miliar.

Panitera Wahyu Gunawan lalu menyampaikan kepada Ariyanto agar menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar. Setelah ada permintaan tersebut, Ariyanto menginformasikannya kepada Marcella. Perempuan itu lalu menghubungi Syafei yang kemudian menyanggupi permintaan itu dalam mata uang dolar Singapura atau dolar Amerika Serikat. 

Tiga hari kemudian, Syafei menghubungi Marcella. Ia mengatakan, uang yang diminta sudah siap dan menanyakan lokasi untuk mengantarkannya. Marcella lalu memberikan nomor handphone Ariyanto. 

Setelah ada komunikasi antara Ariyanto dan Syafei, keduanya bertemu di parkiran di kawasan Sudirman Central Business District atau SCBD. Syafei lalu menyerahkan uang tersebut kepada Ariyanto. Uang itu lalu diantar kepada Wahyu Gunawan di Klaster Ebony, JI. Ebony 6, Blok AE No. 28, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

Wahyu kemudian menyerahkan uang tersebut kepada Muhammad Arif Nuryanta. Hakim itu lantas memberikan US$ 50 ribu kepada Wahyu. 

Dalam keterangan resmi Kejaksaan Agung pada 14 April 2025, uang itu lantas diberikan Arif kepada majelis hakim yang menangani kasus CPO. Yakni, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Usai terbit penetapan sidang, Arif memanggi ketiganya dan memberikan uang dolar Amerika Serikat setara Rp 4,5 miliar untuk membaca berkas perkara, serta memberikan atensi terhadap kasus itu.

Uang itu lalu dimasukkan ke dalam goodie bag yang dibawa oleh Agam Syarif Baharuddin. Duit itu lantas dibagi tiga untuk hakim yang mengadili perkara tersebut.

Pada sekitar September atau Oktober 2024, hakim Arif kembali menyerahkan uang dolar Amerika Serikat yang setara dengan Rp 18 miliar. Duit itu diserahkan kepada Djuyamto. Ketua Majelis Hakim itu lalu membagi tiga uang tersebut di depan Bank BRI Pasar Baru, Jakarta Selatan dengan porsi: 

  • Agam Syarif Baharuddin menerima uang dolar yang setara Rp 4,5 miliar;  
  • Djuyamto menerima uang dolar setara Rp 6 miliar, yang diberikan kepada Panitera Rp 300 juta;
  • Ali Muhtarom menerima uang berupa dolar yang setera Rp 5 miliar. 

Sehingga total seluruhnya yang diduga diterima ketiga hakim itu adalah Rp 22 miliar. Menurut Kejaksaan Agung, Majelis Hakim mengetahui tujuan dari penerimaan uang tersebut agar perkara CPO diputus onslag

Terbaru, Kejaksaan Agung mengembangkan kasus hingga perintangan penyidikan dan proses pengadilan kasus korupsi PT Timah dan impor gula. Dalam pengembangan ini, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka. Ketiganya adalah advokat Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, serta Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan, penyidik menemukan bukti Marcella meminta Junaeidi untuk membuat narasi negatif tentang Kejagung. Keduanya lantas meminta Tian untuk menyebarkan narasi tersebut.

Abdul mengatakan, Marcella dan Junaedi membiayai demonstrasi hingga seminar. Ini sebagai upaya menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara Kejagung yang sudah berjalan di persidangan.

"Jadi tujuan mereka jelas dengan membentuk opini negatif, seolah yang ditangani penyidik tidak benar, mengganggu konsentrasi penyidik, sehingga diharapkan, atau harapan mereka perkaranya dapat dibebaskan atau minimal mengganggu konsentrasi penyidikan," ujarnya dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan pada Selasa dinihari, 22 April 2025.

Selain itu, penyidik menemukan bukti draf vonis lepas kasus korupsi CPO sempat dikoreksi. Marcella selaku pengacara terdakwa korporasi diduga sempat mendapat draf putusan dari panitera Wahyu Gunawan.

Fajar Pebrianto dan Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |