Kepolisian Tangkap Puluhan Massa Aksi Hari Buruh

4 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Aparat Kepolisian menangkap massa aksi yang ikut serta dalam peringatan Hari Buruh Internasional di sejumlah daerah, seperti Jakarta dan Semarang. Penangkapan tersebut diduga karena melakukan tindakan anarkis saat demonstrasi berlangsung.

Dikutip dari Antara, Kabid Humas Polda Metro Jaya Ade Ary Syam Indradi, menyampaikan kepada awak media di Jakarta, Jumat, 2 Mei 2025, bahwa keempat belas orang tersebut diyakini berasal dari kelompok Anarko.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"13 orang terdiri dari 12 laki-laki dan satu wanita diamankan karena terlibat dalam tindakan anarkis, melawan perintah petugas serta melempari pengguna jalan tol dengan batu," kata Ade Ary.

Menurut Ade Ary, mereka dianggap sebagai penyusup yang memicu kericuhan. Salah satu tindakan mereka adalah melempar kendaraan warga yang melintas di jalan tol pada pukul 16.12 WIB, yang dinilai tidak memiliki relevansi dengan aksi buruh. Karena ulah mereka yang dinilai mengganggu ketertiban umum, para pelaku kemudian diamankan sekitar pukul 17.30 WIB. Hingga Jumat malam, penyelidikan terhadap mereka masih terus dilakukan oleh Subdirektorat Keamanan Negara (Kamneg) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Metro Jaya.

Lebih lanjut, Ade Ary menekankan pentingnya mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Ia menjelaskan bahwa setiap rencana aksi harus didahului dengan pemberitahuan tertulis kepada kepolisian paling lambat tiga hari sebelum kegiatan berlangsung.

Ia juga menambahkan bahwa pihak penyelenggara aksi wajib menjalin komunikasi dengan kepolisian untuk melakukan penilaian bersama, termasuk mengenai jumlah peserta yang akan hadir, jenis kegiatan yang dilakukan, serta perlengkapan yang akan dibawa.

Bukan hanya di Jakarta, aksi demonstrasi dalam rangka peringatan Hari Buruh di kawasan Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah pada Kamis, 1 Mei 2025, juga berlangsung ricuh. Kerusuhan terjadi setelah massa merobohkan pagar, yang kemudian direspons aparat dengan tembakan gas air mata dan semprotan water cannon.

Situasi memanas saat massa membakar properti unjuk rasa dan merobohkan pagar di median jalan. Aparat kepolisian yang membawa perisai segera menuju lokasi pembakaran. Massa mendesak polisi mundur ke area Kantor Gubernur Jawa Tengah dan menempatkan pagar besi di depan gerbang.

Polisi merespons dengan menyemprotkan water cannon dan menembakkan gas air mata, membuat demonstran mundur. Sejumlah orang kemudian diamankan. Menurut perwakilan LBH Semarang M Safali, hingga Kamis malam, sekitar 18 orang telah dibawa ke Polrestabes Semarang.

Ia menyebutkan bahwa beberapa peserta aksi mengalami luka-luka dan harus mendapatkan perawatan medis di rumah sakit. “Ada lebih dari lima kawan kami yang terdampak gas air mata,” ujarnya. Selain itu, sejumlah sepeda motor milik peserta unjuk rasa turut diamankan oleh aparat kepolisian.

Tanggapan Amnesty International Indonesia

Dikutip dari laman Amnesty, menanggapi tindakan kekerasan berlebihan yang dilakukan oleh aparat terhadap mahasiswa, jurnalis, dan tenaga medis dalam unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional pada 1 Mei di berbagai kota, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena, menyampaikan bahwa aparat kembali menunjukkan tindakan yang keras, tidak berperikemanusiaan, dan brutal terhadap peserta aksi damai.

Ia menilai hal tersebut mencerminkan bahwa pemerintah Indonesia masih mempertahankan praktik-praktik represif yang mengekang hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul.

Pelanggaran HAM serius oleh polisi terjadi di beberapa kota, seperti Jakarta dan Semarang, termasuk penggunaan kekuatan yang berlebihan, kekerasan fisik, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, pemeriksaan dan penggeledahan tanpa izin, pengerahan polisi berpakaian sipil yang tidak sah, serta serangan terhadap jurnalis dan petugas medis.

Kekerasan yang terus berlanjut ini disebabkan oleh tidak adanya sanksi bagi anggota polisi yang terlibat maupun pihak-pihak yang bertanggung jawab di level komando, yang membuat impunitas semakin mengakar di tubuh Polri.

Polri harus segera menghentikan penggunaan taktik otoriter seperti ini dan melakukan penyelidikan yang cepat dan menyeluruh terhadap semua tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggotanya selama aksi damai Hari Buruh Internasional. Mereka yang ditangkap dan ditahan hanya karena berpartisipasi dalam aksi damai tersebut harus segera dibebaskan.

Pemerintah, DPR, Komisi Kepolisian Nasional, dan lembaga pengawas lainnya perlu segera mengevaluasi kepemimpinan Polri yang kerap kali digunakan sebagai alat represi terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul warga negara.

Kasus kekerasan polisi yang terulang ini seharusnya menjadi peringatan bagi Komisi III DPR untuk memanfaatkan hak angket atau hak interpelasi guna mengungkap impunitas di dalam tubuh Polri. Praktik-praktik yang dibiarkan terus berlangsung tanpa upaya perbaikan harus dipandang sebagai kebijakan yang perlu mendapat perhatian kritis dari DPR RI.

Jamal Abdun Nashr ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |