TEMPO.CO, Jakarta - Pramoedya Ananta Toer, atau dikenal dengan nama Pram, adalah salah satu sastrawan legendaris Indonesia yang lahir di Blora pada tanggal 6 Februari 1925. Ia telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing. Tak ayal, Pram disebut sebagai salah satu duta yang mengenalkan Indonesia, bahkan Asia semakin mendunia.
Kelahiran Pram, 100 tahun lalu dirayakan dalam acara bertajuk "Tur Toer Tualang" diselenggarakan di Ruang Kreatif & Literasi Cakrawala Kata, Surabaya, pada Minggu, 26 Januari 2025. Acara ini menghadirkan Soesilo Toer, adik dari Pram.
Soesilo mengungkapkan Pram tumbuh sebagai yatim piatu sejak kecil. Ia bertanggung jawab mengasuh adik-adiknya yang banyak termasuk Soes. Ia bercerita, Pram mendidik adik-adiknya dengan keras. "Dia dua kali menempeleng saya. Tapi tetap saya menyayangi Pram, bukan hanya kakak tertua dan pengganti orang tua," kata Soesilo Toer saat membuka diskusi 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer, di Cakrawala Kata, pada Minggu, 26 Januari 2025.
Pada 1950, saat memasuki usia SMP, mereka pindah ke Jakarta. Ia bersekolah di Taman Siswa, yang berjarak 6 kilometer dari rumahnya, dengan uang saku sebesar Rp 10 per bulan. Jika uang jajannya tidak mencukupi, ia diminta untuk mencari tambahan sendiri.
Soes bercerita keluarga mereka erat dengan dunia literasi. Namun, di antara delapan bersaudara, enam orang menjadi penulis dan penerjemah. “Dari delapan (bersaudara) yang hidup itu, 5 laki-laki dan 3 perempuan, pendidikannya gak karuan, bagi saya itu. Dua adiknya cuma tamat SD tanpa ijazah, dua tamatan SMP, dua tamatan perguruan tinggi. ,” ujar Soesilo.
Ia juga menceritakan mengenai kakaknya, Koesalah Soebagyo Toer, yang mendapat penghargaan dari Presiden Rusia, Vladimir Putin, sebagai Penerjemah bahasa Rusia terbaik di Puskin Award pada 2017. Sebagaimana yang diketahui bahwa Koesalah adalah orang yang mampu menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Belanda, Inggris dan Jerman. Pada saat itu, Soesilo Toer hadir mewakili penghargaan karena kakaknya telah meninggal dunia pada 2016.
Soesilo juga bercerita, bagaimana proses kreatif Pramoedya Ananta Toer yang menggabung fakta dan fiksi. “Kalau ada menulis cerita hanya dengan fakta saja, akan menjenuhkan, tambah dengan fiksi yang menarik,” ujarnya.
Ia juga berkelakar kalau Pramoedya menulis di umur 15 tahun, sementara ia menulis di umur 13 tahun. “Guru harus kalah dari murid, kalau guru gak bisa dikalahkan oleh murid, negara ini mundur. Kalau mengalahkan gurunya, negara ini maju. Teori saya itu.” Ia juga menambahkan bahwa Pramoedya hanya menulis 50 buku, sementara ia menulis 100 buku.
Tidak hanya itu, Soesilo bercerita bahwa Pramoedya Ananta Toer menjadi satu-satunya mantan tahanan yang mendapatkan surat dari mantan presiden Indonesia, Soeharto, “‘Tinggalkanlah era orde lama, masuklah ke orde baru’. Namun, Pram menjawab ‘Semua orang boleh mengikuti jejak langkah saya’. Pram kan prinsipnya kebebasan,” ujarnya.
Saat dibebaskan dari tahanan pada tahun 1978 (setahun lebih awal dari tahun pembebasan Pramoedya Ananta Toer), Soesilo Toer mengatakan pernah mendapatkan pesangon Rp10. “Disangoni duit (dikasih uang), keluar dari penjara bawa sandal jepit sisian (hanya sebelah), dengan sebungkus pakaian,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa sepatu asal Prancis, mesin tulis, hingga alat pencuci film disita ketika ditahan pada saat itu.
Keuletan keluagra itu di dunia literasi tak luntur, Soesilo, meskipun telah berusia 87 tahun, tetap penuh semangat untuk menulis buku. Selain dikenal sebagai lulusan doktor dari universitas di Uni Soviet, ia juga mengelola Perpustakaan Pataba, yang berlokasi di rumah masa kecil Pramoedya. Di usia senjanya, Soesilo masih aktif di dunia literasi.
Kesehariannya dihabiskan dengan menjual buku, menulis, menyunting serta memulung, meskipun ia memiliki gelar doktoral dan mengelola perpustakaan yang terkenal hingga ke luar negeri.
Rachel Farahdiba Regar berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Pilihan Editor: 4 Buku Pramoedya Ananta Toer dengan Tema Perempuan yang Wajib Dibaca