REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU — Koalisi Masyarakat untuk Marwah Riau (KOMMARI) menyampaikan tanggapan resmi terhadap pernyataan mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan era Zulkifli Hasan, Hadi Daryanto, mengenai isu pelepasan 1,6 juta hektare kawasan hutan di Riau. KOMMARI menilai pernyataan tersebut berpotensi mengaburkan fakta dan menyesatkan publik.
Ketua Umum KOMMARI Taufik Tambusai menjelaskan bahwa angka 1,6 juta hektare atau tepatnya 1.638.249 hektare tidak dapat disebut sebagai pelepasan kawasan hutan. Sejak terbitnya SK Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 dan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.7651/Menhut-VII/KUH/2011, kawasan hutan di Riau belum pernah dikukuhkan secara hukum.
"Padahal kedua SK tersebut secara tegas memerintahkan pengukuhan kawasan hutan," ujarnya dalam keterangan yang diterima, Rabu (10/12/2025).
Pengukuhan kawasan hutan merupakan amanah peraturan perundang-undangan, antara lain PP Nomor 33/1970, SK Dirjen Kehutanan Nomor 85/1974, UU Nomor 41/1999, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/2001, serta PP Nomor 44/2004. Tahapan pengukuhan mencakup penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Dalam areal yang tertera pada kedua SK tersebut terdapat Areal Penggunaan Lain (APL) yang semestinya dikeluarkan dari kawasan hutan.
"Namun karena penataan batas tidak dilakukan, areal APL tersebut 'terjebak' dalam kawasan hutan yang masih berstatus penunjukan," kata Taufik.
KOMMARI menegaskan bahwa selama proses pengukuhan tidak dijalankan, kawasan hutan belum berkekuatan hukum. Barulah pada 7 Desember 2016 terbit SK Menteri LHK Nomor SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 terkait kawasan hutan Provinsi Riau.
Karena itu, areal seluas 1,6 juta hektare tersebut tidak dapat disebut sebagai kawasan yang dilepaskan dari hutan. Pelepasan dan penataan batas adalah dua hal berbeda.
Pelepasan hanya dapat dilakukan pada kawasan hutan yang sudah dikukuhkan secara hukum, sementara penataan batas merupakan pemisahan hak-hak para pihak yang berbatasan, termasuk tanah masyarakat.
KOMMARI juga menyoroti persoalan lain yang dinilai menarik dalam SK 673, sebagaimana disampaikan Hadi Daryanto. Melalui SK tersebut terdapat upaya menjadikan sekitar 77 ribu hektare kebun kelapa sawit sebagai APL serta melegalkan 340.707,95 hektare konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik 29 perusahaan.
"Padahal, menurut regulasi yang berlaku, HTI hanya boleh berada di Hutan Produksi tetap," katanya.
Dari total tersebut, 13 perusahaan berada di Lansekap Tesso Nilo seluas 153.530,28 hektare; enam perusahaan di Lansekap Kerumutan (37.045,68 hektare); tiga perusahaan di Lansekap Bukit Tiga Puluh (36.126,14 hektare); enam perusahaan di Bengkalis dan Meranti (75.602,97 hektare); serta di Pulau Rupat seluas 38.402,94 hektare.
KOMMARI menilai persoalan kawasan hutan di Riau tidak bisa dilepaskan dari absennya proses pengukuhan selama puluhan tahun. Akibatnya, banyak hak masyarakat maupun badan hukum terjebak di dalam kawasan yang hanya berstatus penunjukan. Hal ini bertentangan dengan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 41/1999, yang mewajibkan pengukuhan untuk memberikan kepastian hukum.

8 hours ago
3
















































