TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum menerbitkan surat perintah penyidikan atau sprindik baru terhadap Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej untuk kasus dugaan korupsi saat dia menjabat wakil menteri hukum dan HAM (Wamenkumham) di era Presiden Joko Widodo.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto tak menyebut alasan KPK belum juga menerbitkan sprindik baru Eddy. "Saya belum terinfo soal itu," kata dia di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 22 Oktober 2024.
Perihal masuknya nama Eddy Hiariej dalam susunan kabinet Presiden Prabowo Subianto, Tessa menyebut, KPK tak memiliki wewenang atas pemilihan nama menteri maupun wakil menteri Presiden Prabowo.
"KPK tidak masuk dalam ranah siapa pihak-pihak yang dipilih Bapak Presiden Prabowo, harapan KPK bagi pihak-pihak yang sudah terpilih ini dapat menjalankan seluruh yang dicita-citankan Bapak Presiden, yakni hastacita," ujarnya.
Presiden Prabowo Subianto sudah mengumumkan susunan kabinet yang dinamai Kabinet merah Putih. Salah satu nama yang ia tunjuk adalah Eddy Hiariej sebagai wakil menteri hukum.
Eddy Hiariej merupakan wakil menteri hukum dan HAM (Wamenkumham) di era Presiden Joko Widodo. Tapi jabatan itu dicopot usai KPK menetapkannya sebagai tersangkakan KPK atas tuduhan penerimaan suap dan gratifikasi pada 24 November 2023.
Eddy kemudian mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan tersangka itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 4 Desember 2023. Gugatan sempat dicabut dan diajukan kembali pada 3 Januari 2024. Hakim tunggal praperadilan mengabulkan gugatan Eddy hingga ia bebas dari status tersangka.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, sejak putusan praperadilan keluar hingga hari ini, belum ada surat perintah penyidikan atau sprindik baru untuk melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi Eddy Hiariej. “Iya belum, pasca-putusan praperadilan,” kata Alex dikonfirmasi Tempo, Senin, 21 Oktober 2024.
Alex enggan menyebutkan alasan mengapa pimpinan KPK tak kunjung mengeluarkan sprindik baru dugaan korupsi Eddy Hiariej. Padahal, lembaga antirasuah itu meyakini telah memiliki bukti kuat untuk menjerat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tersebut.
Iklan
Menyitir laporan Koran Tempo edisi 6 April 2024, seorang aparat penegak hukum bercerita penyidik sebenarnya sudah meminta agar surat perintah penyidikan (sprindik) baru itu diterbitkan sejak 15 Maret 2024. Namun, surat itu mandek di meja Deputi Penindakan KPK Brigadir Jenderal Rudi Setiawan.
Alexander Marwata kala itu membenarkan kalau KPK akan mengeluarkan sprindik baru dalam kasus yang melibatkan Eddy Hiariej. Namun, surat itu memerlukan persetujuan pimpinan KPK yang saat itu sedang banyak dinas luar kota sehingga pembahasan tertunda.
“Setelah Idul Fitri kami bahas kembali. Sering pimpinan tidak lengkap di kantor. Ada yang dinas ke luar kota, sehingga pembahasan tertunda,” kata Alex saat dihubungi 5 April 2024 seperti dikutip Koran Tempo.
Kasus yang melibatkan Eddy Hiariej ini bermula dari laporan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso ke KPK pada 14 Maret 2023. IPW menduga Eddy memperdagangkan kewenangannya sebagai wakil menteri hukum dan HAM dalam sengketa kepemilikan saham perusahaan tambang nikel di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, PT Citra Lampia Mandiri (CLM) antara Helmut Hermawan dan Zainal Abidin.
Dalam pengurusan sengketa itu, Eddy menyuruh bawahannya menerima permohonan pendaftaran perubahan akta perusahaan PT CLM menjadi milik Helmut Hermawan melalui Sistem Administrasi Hukum Umum (AHU). Selain itu, Eddy juga disebut-sebut melobi Badan Reserse Kriminal Polri agar menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atas perkara Helmut, yaitu jual-beli 85 persen saham PT CLM yang dilaporkan Zainal Abidin.
Atas praktik lancung itu, Eddy Hiariej diduga menerima suap senilai Rp 8 miliar yang diberikan Helmut Hermawan melalui dua asisten Eddy yakni Yosi Andika Mulyadi dan Yogi Ari Rukmana.
ADE RIDWAN YANDWIPUTRA berkontribusi dalam artikel ini
Pilihan Editor: Lansia di Johar Baru Tewas saat Berkelahi dengan Tetangga karena Sampah