LBH Jakarta Nilai Polisi Semakin Brutal Tangani Penolak RUU TNI

1 day ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan aparat kepolisian semakin brutal dalam menangani aksi protes sepanjang dua pekan terakhir. Kekerasan oleh aparat terjadi saat demo menolak RUU TNI di sejumlah kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Malang.

Fadhil mengatakan di kota-kota tersebut, tercatat puluhan peserta aksi mendapatkan tindakan kekerasan dan luka fisik. Tidak hanya peserta demo, jurnalis dan petugas medis tak luput dari sasaran kekerasan aparat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Fadhil, penggunaan kekuatan berlebihan itu terjadi karena polisi memandang massa aksi sebagai lawan dan ancaman. “Dalam aksi protes, polisi harusnya bersifat pasif dan memberikan pelayanan kepada peserta aksi,” kata Fadhil saat dihubungi, Ahad, 30 Maret 2025.

Polisi sebenarnya memang dibenarkan menggunakan kekuatan untuk meredam aksi protes. Namun demikian, hal itu harus mengacu pada prinsip legalitas, proporsional dan tujuan yang jelas. “Penggunaan kekuatan seperti pasukan anti huru-hara harus berimbang dengan ancaman yang dihadapi,” ujar Fadhil.

Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Berdasarkan aturan itu disebutkan polisi harus mengutamakan cara-cara tanpa kekerasan saat mengamankan aksi protes.

Namun praktik di lapangan jauh panggang dari api. Di banyak aksi proters, kata Fadhil, sejak awal aparat keamanan sudah menempatkan pasukan anti huru-hara berhadap-hadapan dengan massa. 

“Ini secara tidak langsung memberikan kesan bahwa massa adalah ancaman serius tanpa ukuran yang jelas,” kata Fadhil.

Fadhil menambahkan, pengerahan pasukan Brimob dibenarkan jika massa sudah tidak terkendali atau disebut juga dalam situasi merah. “Tetapi dalam demo dua pekan terakhir, Brimob sudah dikerahkan sejak awal. Kemudian ada pola pengerahan aparat yang menyamar di tengah-tengah massa aksi menggunakan pakaian bebas,” ujarnya.

Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur mengatakan ada dua alasan mengapa aparat masih terus represif dalam menangani aksi unjuk rasa. Pertama, kata dia, belum adanya kesadaran di institusi Polri bahwa kebebasan berekspresi dan berdemonstrasi itu adalah hak asasi manusia dan dijamin oleh konstitusi.

“Soal hukum dan HAM mereka tidak taat dan memahami peraturan yang ada. Hukum tidak tegak. Ini tantangan di polisi dan tentara kok bisa terjadi itu semua?” kata Isnur melalui pesan suara kepada Tempo pada Rabu, 26 Maret 2025.

Isnur mengatakan alasan kedua tindak represif aparat menangani massa aksi adalah karena praktik yang sudah menjadi kebiasaan. Menurut Dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera ini, polri seharusnya jangan membiarkan apalagi melindungi pelaku kekerasan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras menyebut pembatasan terhadap ekspresi kebebasan dan tindakan represif aparat kerap terjadi dalam satu tahun terakhir. Sejak rezim berganti dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo pada 20 Oktober 2024, Kontras mencatat terjadi 19 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat.

Menurut Kontras, tindakan represif aparat keamanan juga terjadi saat aksi Indonesia Gelap akhir Februari lalu, yang mengkritik kebijakan pemerintah. 

Tempo masih berupaya meminta tanggapan Polri soal tindakan kekerasan aparat saat demo tolak RUU TNI. Kepala Biro Penerangan Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko belum merespons permintaan konfirmasi yang dikirimkan melalui WhatsApp, pada Ahad, 30 Maret 2025.

Daniel Ahmad Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |