TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah menerima ratusan aduan masyarakat mengenai dugaan Pertamax oplosan. LBH Jakarta membuka posko pelaporan untuk orang-orang yang merasa menjadi korban kasus dugaan korupsi pengadaan bahan bakar minyak (BBM) di lingkungan PT Pertamina (Persero) itu sejak Rabu pekan lalu, 26 Februari 2025.
Dalam satu pekan terakhir, LBH Jakarta menerima laporan tersebut secara daring dan luring. "Kami sudah menerima 590 laporan," kata Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan melalui pesan singkat pada Selasa, 4 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, kata Fadhil, LBH Jakarta masih membuka posko pengaduannya. Jumlah 590 laporan yang telah mereka terima masih mungkin bertambah. Ia menyampaikan LBH Jakarta akan membuka posko pengaduan mereka hingga Rabu, 5 Maret 2025 pukul 23.59 WIB. Masyarakat masih bisa mengisi formulir pengaduan mereka melalui tautan ini.
Nantinya, LBH Jakarta akan melakukan analisis terhadap laporan yang telah mereka terima. Analisis tersebut mereka lakukan bersama organisasi masyarakat sipil dan lembaga studi lain seperti Center of Economic and Law Studies (Celios).
Apabila pengoplosan itu terbukti benar, LBH Jakarta akan menjembatani masyarakat untuk memulihkan hak mereka atas kerugian dari tindak rasuah para bos di Pertamina itu. “Ini kan bukan cari sensasi, demi cari kebenaran dan dorong keadilan,” ujar Fadhil.
Kendati demikian, apabila Pertamina bersedia menunaikan ganti rugi kepada masyarakat, LBH Jakarta dan Celios akan mengurungkan niat untuk menempuh jalur hukum. Alasannya, kasus dianggap telah selesai sehingga tidak perlu digugat. “Langkah hukum itu sifatnya last resort,” tutur Fadhil.
Fadhil mengatakan siap menggugat perusahaan BUMN itu bila Pertamina abai terhadap kerugian yang ditimbulkan terhadap masyarakat. Terdapat dua opsi hukum yang mereka pertimbangkan, yakni gugatan class action atau citizen lawsuit.
Dugaan Pertamax oplosan mencuat setelah Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka kasus impor minyak. Ada sejumlah petinggi Pertamina yang menjadi tersangka. Mereka adalah Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga. Selain itu, ada juga Direktur Utama Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi.
Para tersangka korupsi Pertamina ini diduga melakukan blending atau mengoplos BBM jenis Pertamax dengan Pertalite. Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan yang ditetapkan sebagai salah satu tersangka diduga membeli RON 90 atau lebih rendah, namun mengaku membeli RON 92. Kemudian RON 90 itu dioplos atau blending di storage atau depo untuk menjadi RON 92.
Pelaksana tugas harian Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, membantah soal Pertamax oplosan seperti yang ditudingkan Kejaksaan Agung. Ega menjelaskan BBM yang diterima Pertamina Patra Niaga berasal dari dua sumber utama, yakni kilang dalam negeri dan pengadaan dari luar negeri. Produk tersebut sudah memiliki nilai RON yang sesuai sebelum didistribusikan.
“Baik yang dari luar negeri maupun yang dari dalam negeri, itu kita sudah menerima dalam bentuk RON 92. Yang membedakan adalah, meskipun sudah dalam RON 90 maupun RON 92, itu sifatnya masih base fuel, artinya belum ada aditif. Jadi Pertamina Patra Niaga itu mengelola dari terminal sampai ke SPBU,” ujar Mars Ega, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI, pada Rabu 26 Februari 2025.
Alfitria Nefi P berkontribusi dalam penulisan artikel ini.