Libatkan Mantan Koruptor dalam Rapat Dengar Pendapat,  Pakar Sebut DPR Tak Punya Etika

7 hours ago 6

Ilustrasi rapat dengar pendapat di DPR | Kreasi AI

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Keputusan Komisi III DPR RI mengundang Patrialis Akbar dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) untuk membahas Putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 menuai sorotan tajam. Pengamat politik Ray Rangkuti menilai langkah tersebut tidak pantas, mengingat rekam jejak Patrialis yang pernah divonis bersalah dalam kasus suap.

“Entah apa yang jadi pertimbangan Komisi III DPR RI mengundang Patrialis Akbar. Beliau mantan terpidana kasus suap di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 4 September 2017,” tegas Ray, Sabtu (5/7/2025).

Menurut Ray, masalahnya bukan terletak pada kapasitas keilmuan Patrialis, melainkan soal etika. Ia mempertanyakan kelayakan lembaga terhormat seperti DPR menghadirkan mantan terpidana suap untuk memberi pandangan dalam forum resmi, terlebih terkait Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang pernah tercoreng akibat kasus yang menjerat Patrialis.

Ray menyayangkan tindakan Komisi III, apalagi mengingat ketuanya berasal dari Partai Gerindra, partai yang kini dipimpin Presiden Prabowo Subianto. Padahal, Prabowo kerap mengumandangkan tekad memberantas korupsi hingga ke ujung dunia.

“Ada ketidakselarasan visi dan semangat. Presiden Prabowo bersumpah mengejar koruptor sampai ke Antartika. Tapi di saat bersamaan, kader partai beliau di DPR justru mengundang mantan terpidana korupsi ke parlemen,” ujar Ray.

Ia menilai sikap kader Gerindra seharusnya mendukung penuh upaya Presiden dalam memberantas korupsi. Bukan hanya lewat hukuman penjara atau penyitaan harta, tetapi juga dengan menolak memberi ruang bagi mantan koruptor tampil di forum resmi lembaga negara.

“Seharusnya para koruptor tak lagi diberikan panggung terhormat di lembaga tinggi negara. Mereka seharusnya mendapat sanksi sosial berlipat, bukan karpet merah,” ucapnya.

Ray menilai sangat sulit menerima pendapat Patrialis terkait putusan MK yang kini dibahas, mengingat statusnya sebagai mantan hakim MK yang terjerat perkara suap. Ia mempertanyakan mengapa Komisi III tidak mengundang figur lain, misalnya mantan hakim MK lain yang dinilai masih memiliki integritas tinggi.

“Kalau memang ingin mendengar pandangan mantan hakim MK, masih banyak nama yang rekam jejaknya bersih. Tidak akan mencederai komitmen Presiden Prabowo yang sedang serius memberantas korupsi,” imbuh Ray.

Nama Patrialis memang lekat dengan kontroversi. Sebelumnya, proses pengangkatannya sebagai hakim MK pun sudah menuai protes. Kala itu, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi menggugat Keppres RI No 87/P Tahun 2013 yang menetapkan Patrialis sebagai hakim konstitusi. Gugatan muncul karena penunjukannya dinilai tidak transparan dan sarat konflik kepentingan, sebab Patrialis merupakan politisi PAN dan MK sedang menangani sengketa pilkada.

ICW kala itu juga menilai pengangkatan Patrialis menyalahi prosedur. Koordinator Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Tama Satrya Langkun, menyebut pengangkatan Patrialis tidak melewati proses seleksi terbuka.

Patrialis akhirnya ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan pada Januari 2017. Ia terbukti menerima suap terkait uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Vonis bersalah dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta pada September 2017, menambah daftar panjang kasus korupsi yang mencoreng lembaga Mahkamah Konstitusi setelah sebelumnya menjerat Akil Mochtar.

Ray pun menutup kritiknya dengan menilai langkah Komisi III DPR RI tersebut kontraproduktif terhadap upaya memulihkan citra Mahkamah Konstitusi sekaligus melawan korupsi. “Kalau sungguh ingin membersihkan lembaga negara, langkah Komisi III DPR seperti ini justru mengaburkan pesan kuat Presiden Prabowo untuk mengejar koruptor ke mana pun mereka bersembunyi,” tandasnya. [*] Berbagai sumber

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |