REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Abdul Hamid, Profesor Riset dari BRIDA JATIM
Di tengah tekanan ekonomi global, ketimpangan sosial, dan persaingan kerja yang semakin ketat, kesuksesan sering direduksi menjadi sekadar angka: pendapatan, jabatan, dan popularitas. Padahal, realitas menunjukkan bahwa tidak sedikit mereka yang mapan secara materi justru mengalami kegersangan makna hidup. Islam menawarkan konsep kesuksesan yang lebih utuh: sukses yang menghadirkan keberkahan, ketenangan, dan manfaat sosial.
Alquran menegaskan, “Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik” (QS. An-Nahl: 97). Ayat ini menempatkan iman dan amal nyata sebagai fondasi keberhasilan hidup.
Pertama, menjaga sholat lima waktu tepat waktu. Sholat bukan sekadar ritual spiritual, tetapi juga membentuk disiplin, fokus, dan ketahanan mental. Rasulullah ﷺ menyebut sholat tepat waktu sebagai amal paling utama (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks modern, nilai ini relevan dengan kebutuhan dunia kerja yang menuntut konsistensi dan integritas.
Kedua, menjadikan sedekah sebagai investasi sosial. Islam mengajarkan bahwa harta tidak berkurang karena sedekah (HR. Muslim). Di tengah kesenjangan ekonomi yang melebar, sedekah berfungsi sebagai penyangga sosial. Namun, sedekah individu perlu diperkuat oleh kebijakan negara melalui sistem zakat, infak, dan wakaf yang dikelola profesional dan transparan, agar dampaknya sistemik dan berkelanjutan.
Ketiga, terus belajar dan mengajarkan ilmu. Ilmu adalah modal utama di era disrupsi teknologi. Allah mengangkat derajat orang-orang berilmu (QS. Al-Mujadilah: 11).
Di sinilah tantangan kebijakan publik muncul. Negara harus memastikan akses pendidikan berkualitas yang merata, bukan sekadar angka partisipasi sekolah. Tanpa peningkatan kualitas guru, kurikulum relevan, dan riset terapan, bonus demografi justru berpotensi berubah menjadi beban pengangguran terdidik.
Keempat, berbakti kepada orang tua. Dalam Islam, ridha Allah bergantung pada ridha orang tua. Nilai ini bersifat universal. Cristiano Ronaldo, misalnya, dikenal sangat memuliakan ibunya dan berulang kali menyatakan bahwa kesuksesannya tidak lepas dari doa sang ibu. Fakta ini menunjukkan bahwa kekuatan keluarga dan dukungan moral sering menjadi fondasi keberhasilan jangka panjang.
Kelima, membangun jejaring melalui komunikasi yang simpatik. Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi” (HR. Bukhari).
Dalam dunia profesional, jejaring bukan sekadar koneksi, tetapi kepercayaan. Sayangnya, ekosistem kerja dan usaha di Indonesia masih sering terhambat birokrasi, regulasi tumpang tindih, dan akses permodalan yang timpang, terutama bagi UMKM. Pemerintah perlu menghadirkan kebijakan yang benar-benar mempermudah, bukan sekadar slogan.
Kesuksesan individu tidak lahir di ruang hampa. Ia sangat dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi dan peran negara. Islam memandang negara memiliki tanggung jawab moral untuk menjamin keadilan, membuka lapangan kerja, dan melindungi kelompok lemah. Kebijakan publik yang abai terhadap nilai keadilan hanya akan melahirkan kesuksesan semu bagi segelintir orang, bukan kesejahteraan kolektif.
Lima syarat ini menegaskan bahwa kesuksesan sejati adalah perpaduan antara spiritualitas, kepedulian sosial, kecerdasan intelektual, kekuatan keluarga, jejaring sosial, dan kebijakan publik yang adil. Sudah saatnya kita menggeser paradigma: sukses bukan hanya tentang apa yang kita kumpulkan, tetapi tentang seberapa besar manfaat dan keadilan yang kita hadirkan bagi sesama.

4 hours ago
5

















































