LPSK Telaah Permohonan Perlindungan dari Korban Pelecehan Seksual Pria Difabel di NTB

1 month ago 41

TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengonfirmasi bahwa korban dugaan pelecehan seksual oleh pria difabel di Nusa Tenggara Barat (NTB) telah mengajukan permohonan perlindungan. “Ini kami masih lakukan penelaahan terkait permohonan tersebut,” kata Wakil Ketua LPSK Susilaningtyas, Sabtu, 7 Desember 2024.

Susi mengatakan, korban yang mengajukan perlindungan itu berinisial MA. Dalam tahap ini, kata Susi, LPSK bisa memberikan pendampingan psikologis untuk korban, apabila dibutuhkan. “Termasuk melakukan asesmen psikologis atau medis jika korban membutuhkan,” ujarnya.

Sebelumnya, MA telah melaporkan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh I Wayan Agus Suartama alias Agus di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kasus ini menuai pro dan kontra karena Agus adalah seorang difabel. Pro kontra ini membuat MA merasa posisinya semakin terpojok. Karena itulah ia mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK.  

"Dalam permohonannya, MA meminta bantuan ahli kepada Ketua LPSK dengan alasan dirinya adalah korban," Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati dalam keterangan tertulisnya, 5 Desember 2024.

Sri menyatakan MA mengajukan permohonan perlindungan kepada LPSK pada Senin, 2 Desember 2024, melalui kuasa hukumnya. Dalam permohonannya, MA meminta bantuan ahli kepada Ketua LPSK dengan alasan dirinya adalah korban dugaan tindak pidana pelecehan seksual yang dilakukan oleh Agus. MA juga mengajukan restitusi atau ganti rugi kepada pelaku. 

Sri Nurherwati menegaskan bahwa keadilan adalah hak fundamental yang harus dinikmati oleh semua pihak, baik korban maupun pelaku. Ia menyerukan peran aktif masyarakat dalam mendukung proses hukum yang inklusif dan adil, tanpa prasangka yang dapat merugikan salah satu pihak. Menurutnya, pendekatan yang berimbang dan objektif adalah kunci untuk mengungkap kebenaran.

Ia berharap kasus ini dapat menjadi pembelajaran penting dalam penanganan pelecehan seksual di Indonesia. Ia juga menekankan perlindungan terhadap korban dan pemberian akomodasi yang layak bagi pelaku sesuai prinsip keadilan dan hak asasi manusia harus menjadi prioritas dalam setiap langkah penegakan hukum.

Adapun Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) telah menetapkan Agus sebagai tersangka dan sudah menyerahkan berkas perkaranya kepada Kejaksaan Tinggi NTB. 

Penyidik menyatakan Agus, yang merupakan penyandang disabilitas, telah melakukan tindak pidana pelecehan seksual fisik dengan modus manipulasi melalui komunikasi verbal yang mampu mempengaruhi sikap dan psikologi korban. Agus dianggap memanfaatkan kondisi korban yang lemah, sehingga korban dapat dikuasai dan mengikuti kemauan pelaku.

Saat ini, Agus menjalani proses hukum sebagai tahanan rumah. Kebijakan ini diambil oleh penyidik Polda NTB dengan mempertimbangkan kondisi tersangka yang merupakan penyandang disabilitas fisik, dan juga fasilitas di Polda NTB yang belum memadai untuk menangani tersangka dengan disabilitas. 

“Perkara ini bukan perkara pemerkosaan yang kita anggap bahwa, pemerkosaan itu ada dengan melakukan kekerasan fisik, melakukan dengan anggota lengkap tubuh, dengan segala macamnya," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB, Komisaris Besar Syarif Hidayat.

Oleh sebab itu, Syarif mengatakan, penyidik menerapkan sangkaan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pasal tersebut tidak hanya bicara soal unsur paksaan dan kekerasan dalam hubungan seksual non-konsensual. Namun, pasal itu juga juga berkaitan dengan unsur tindakan yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan hubungan seksual, seperti melalui tipu muslihat yang bertujuan memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan korban. 

Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |