Majelis Hakim Diminta Mempertimbangkan Kekerasan Seksual yang Dialami Juwita

3 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Tujuh organisasi masyarakat sipil yang memberikan atensi terhadap kasus kekerasan seksual, meminta majelis hakim Pengadilan Militer I-06 Banjarmasin untuk mengakui dan mempertimbangkan kekerasan seksual terhadap korban Juwita, serta pemulihan keluarga korban saat menjatuhkan putusan atas terdakwa Kelasi Satu Jumran, prajurit TNI AL sekaligus pacar korban.

"Selain itu juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memperhitungkan restitusi untuk korban, baik sebagai akibat kekerasan seksual maupun pembunuhan yang dialaminya," kata Siti Aminah Tardi, perwakilan The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), lewat keterangan tertulis, pada Senin, 19 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tujuh organisasi ini terdiri atas ILRC, JalaStoria, LBH Apik Semarang, LRC KJHAM, Perempuan Mahardhika, Konde.co, dan Lembaga Partisipasi Perempuan (LP2). Sidang pembunuhan Juwita masih berlanjut dengan pemeriksaan saksi pada Senin, 19 Mei 2025. Terdakwa Kelasi Satu Jumran, didakwa melakukan pembunuhan berencana sesuai pasal 340 KUHP. 

Pada tatanan kebijakan, kata Siti, masyarakat sipil juga menuntut dan mengingatkan penyelesaian reformasi sektor keamanan dengan menjadikan peradilan umum untuk memeriksa dan memutus kasus-kasus tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI.

Menurut Siti Aminah, pembunuhan dengan Terdakwa Jumran dan korban Juwita, dalam khasanah hak asasi perempuan dikategorikan sebagai femisida intim (intimate partner femicide).

"Femisida intim adalah pembunuhan yang terjadi dalam relasi personal, termasuk dalam relasi perkawinan atau pacaran yang berakar pada ketidakadilan gender," lanjut Siti Aminah.

Ninik Rahayu dari JalaStoria menambahkan, kasus Juwita memperkuat temuan global dari UN Women dan UNODC yang mencatat 85.000 perempuan dibunuh, di antaranya 51.100 atau rata-rata 140 perempuan oleh pasangan intim atau anggota keluarga selama 2023. Di Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis (JakFem) mengidentifikasikan 180 kasus femisida sepanjang 2023, dan 37 persen terjadi di dalam relasi intim, baik pasangan suami istri atau pacar. 

"Fakta di persidangan mengungkapkan bahwa J dibunuh dikarenakan Terdakwa Jumran menolak permintaan keluarga Korban untuk mengawini sebagai akibat perkosaan yang dilakukannya," cetus Ninik Rahayu.

Pihaknya menilai Juwita telah menjadi korban kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan dan pemaksaan perkawinan sebelum pembunuhan. Hal ini menunjukkan lapisan dan keberlanjutan kekerasan yang dialami Korban yang berakhir dengan kematian, yang merupakan salah satu indikator femisida.

"Karenanya Terdakwa haruslah mempertanggungawabkan perbuatannya dan memulihkan dampak dari kekerasan seksual dan kematiaan baik terhadap korban maupun keluarganya," kata Ninik. 

Menurut dia, pemberian santunan tidak dapat menggantikan restitusi dan menjadi alasan peringan hukuman terhadap Terdakwa. Pemberian sanksi pidana berupa penjara dan administrasi berupa pemecatan tidak cukup, mengingat korban dan keluarganya memiliki hak atas keadilan, restitusi, kompensasi dan bantuan.

Hal ini merujuk pada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan, yang selanjutnya disebut sebagai Deklarasi Hak Korban. Kata Ninik, korban tidak hanya terbatas pada individu yang mengalami kejahatan secara langsung, tetapi juga mencakup keluarga dekat.

"Mereka berhak atas akses ke keadilan dan perlakuan yang adil, restitusi, kompensasi dan bantuan. J sebagai korban kekerasan seksual berhak atas restitusi yang dibayarkan kepada keluarga korban, sekaligus keluarga korban berhak untuk hak-hak tersebut," lanjut Ninik Rahayu.

Walaupun kekerasan seksual yang dialami korban tidak dilaporkan, bukan berarti hak korban tidak diakui dan dijamin. Oleh karena itu, ia mengingatkan peradilan kasus femisida ini untuk tetap mengakui dan menjamin hak-hak korban sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |