TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Kelurahan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, berusaha mempertahankan ekosistem terumbu karang yang tersisa di pesisir pantainya. Seperti yang tampak pada Senin 11 November 2024, sebagian ekosistem sudah hancur akibat pembangunan pulau-pulau wisata di wilayah kelurahan itu yang membutuhkan pasir laut untuk reklamasi.
Sedikitnya ada 12 pulau yang berada di Kelurahan Pulau Pari. Adapun kerusakan ekosistem terumbu karang terpantau di Pulau Kongsi, Pulau Tengah, dan Pulau Gudus Lempeng. “Dahulu, sekitar pulau-pulau itu jadi area snorkeling yang sangat bagus. Banyak terumbu karang, ada rumput lautnya,” kata penduduk lokal Pulau Pari, Asmania, saat ditemui di Pantai Pasir Perawan, Senin itu.
Menurut Asmania, terumbu karang memang masih ada tapi sudah jauh berkurang dan tidak sebagus dulu. Itu sebabnya dia mengaku sedih melihat masifnya pembangunan pariwisata oleh korporasi di sekitar Pulau Pari. Selain merusak ekosistem laut, pembangunan dengan cara yang tidak ramah lingkungan juga membuat pendapatan para nelayan menurun. “Belum lagi dampak perubahan iklim, jadi kami nelayan ini semakin terimpit sana-sini,” ucapnya.
Asmania menuturkan, perjuangan mempertahankan ekosistem terumbu karang oleh warga pulau bukan baru-baru ini saja. Namun sudah sejak reklamasi marak pada 2012. “Gugusan pulau sudah banyak reklamasi, seperti di Pulau Tengah, Pulau Biawak, Gudus Lempeng. Semua itu oleh perusahaan yang izinnya dimudahkan oleh pemerintah," kata dia.
Warga melihat alat berat beroperasi di Pulau Tengah atau Pulau H di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, 11 November 2024. TEMPO/Fardi Bestari
Ditambahkannya, dampak negatif dari kegiatan reklamasi dan perusakan ekosistem laut dirasakan paling besar oleh masyarakat lokal Kelurahan Pulau Pari. Asmania menunjuk contoh laju abrasi yang semakin tinggi, pendapatan para nelayan yang terus merosot, dan rusak serta hilangnya ekosistem pesisir pantai yang seharusnya bisa menjadi aset untuk generasi di masa depan.
Warga Pulau Pari Adang Alat Berat
Aksi masyarakat lokal Pulau Pari yang terbaru adalah mengadang alat berat jenis ekskavator untuk proyek sekitar gugusan Pulau Gudus Lempeng pada bulan ini. Alat diadang sebelum masuk ke daratan. “Tidak ada kekerasan, ketika diadang, orang-orangnya pergi meninggalkan alat ini,” ujar Asmania.
Pemuda dari Pulau Pari, Angga, mengatakan warga mencegah proyek tidak bisa dilanjutkan. "Kalau ekskavator sudah sampai di daratan, maka antisipasi untuk pengerukan bakal sulit dihentikan," kata dia.
Warga melihat alat berat di kawasan pengembangan resort di Pulau Karang Kudus di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, 11 November 2024. Alat berat tersebut berhenti beroperasi usai warga memprotes pengembangan resort yang berisiko menrusak ekosistem di wilayah tersebut. TEMPO/Fardi Bestari
Posisi ekskavator hijau itu terlihat jelas dari Pantai Pasir Perawan pada Senin lalu. Informasi yang dihimpun dari sejumlah masyarakat menyatakan kalau alat berat itu datang untuk melanjutkan proyek pembangunan sekitar Pulau Gugus Lempeng yang belum rampung.
Dari Warga Jadi Aktivis
Ketua Forum Peduli Pulau Pari, Mustaghfirin, menegaskan perjuangan yang sudah berjalan lebih dari satu dekade tersebut harus tetap hidup. Boby, sapaannya, pernah ditahan karena tuduhan pungutan liar di pantai Pulau Pari dan divonis enam bulan penjara pada Maret 2017. Namun dia akhirnya dinyatakan tidak bersalah dan bebas seusai mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
Boby menyatakan, alasan berjuang menjaga untuk Pulau Pari demi bekal di masa depan. Dia menyebut sangat kasihan dengan nasib masyarakat sekitar pulau-pulau kecil yang dianggapnya bisa mudah ditipu oleh perusahaan. Iming-iming untuk berhenti menjaga pulau bahkan kerap didapatkannya pula, semisal dijanjikan uang, jabatan dan sebagainya.
“Saya orang paling terdepan berdiri kalau Pulau Pari ini diambil dan dirusak,” katanya.