SURIAH, sebuah negeri yang pernah menjadi simbol kejayaan peradaban Timur Tengah, kini menghadapi kehancuran akibat perang saudara berkepanjangan.
Sejak konflik dimulai pada 2011, Suriah terus diguncang kekerasan, kemiskinan, dan ketidakstabilan. Protes damai selama Musim Semi Arab yang berujung pada penindasan brutal berubah menjadi perang saudara, melibatkan berbagai faksi bersenjata, kekuatan asing, dan kelompok teroris seperti ISIS.
Luka Mendalam Akibat Perang dan Jejak ISIS
Selama puncak kekuasaannya, ISIS menguasai sebagian besar wilayah timur Suriah, termasuk daerah strategis seperti Deir ez-Zor dan Raqqa. Mereka menghancurkan infrastruktur, menjarah sumber daya, dan meninggalkan jejak trauma yang mendalam bagi warga setempat. Meskipun ISIS secara resmi telah kehilangan hampir seluruh teritorinya, ancaman sisa-sisa kelompok ini masih menghantui wilayah timur laut Suriah.
Konflik yang berkepanjangan juga melumpuhkan ekonomi dan menghancurkan kota-kota besar seperti Aleppo, Homs, dan Raqqa. Sebagian besar infrastruktur hancur, dan jutaan warga terpaksa meninggalkan rumah mereka. Hingga kini, lebih dari separuh populasi Suriah masih hidup dalam kemiskinan ekstrem, bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.
Terakhir, Para pemberontak melancarkan serangan mendadak pada 26 November 2024, menyerang dari daerah-daerah di utara dan barat laut Aleppo. Mereka menyerbu ke dalam kota pada 29-30 November, memaksa pasukan pemerintah keluar.
Seorang pejuang pemberontak membawa senjata saat berjagai di pintu masuk kota Saraqeb di provinsi barat laut Idlib, Suriah, 1 Desember 2024. REUTERS/Mahmoud Hassano
Ini adalah pertama kalinya kendali atas kota tersebut bergeser sejak 2016, ketika pasukan pemerintah, yang didukung oleh Rusia dan Iran, mengalahkan pemberontak yang telah menguasai distrik-distrik timur Aleppo.
Kekayaan Minyak yang Terkikis
Sebelum perang, Suriah memproduksi sekitar 400.000 barel minyak per hari, dengan sebagian besar ladang minyak terletak di wilayah timur. Pendapatan dari sektor minyak menjadi salah satu tulang punggung ekonomi negara. Namun, konflik mengubah situasi ini secara drastis. Produksi minyak Suriah merosot tajam menjadi hanya sekitar 20.000–25.000 barel per hari, jauh di bawah kebutuhan domestik.
Saat ini, dikutip dari ANTARA, ladang minyak yang tersisa dikuasai oleh pasukan Kurdi dan aliansi internasional, termasuk Amerika Serikat. Ladang-ladang ini menjadi salah satu sumber konflik utama antara berbagai pihak yang berjuang untuk mendapatkan kendali atas sumber daya strategis tersebut. Meski cadangan minyak Suriah masih ada, sanksi internasional dan kerusakan infrastruktur membuat pengelolaannya sulit dilakukan.
Upaya Resolusi Konflik
Suriah kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kehancuran yang meluas telah menjadikannya salah satu negara dengan tingkat kemanusiaan terburuk di dunia. Di sisi lain, ada harapan dari beberapa wilayah yang mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meskipun prosesnya berjalan lambat.
Rekonstruksi Suriah memerlukan dukungan internasional yang masif, tetapi tanpa penyelesaian politik yang inklusif, upaya ini bisa menjadi sia-sia. Ketergantungan rezim Assad pada Rusia dan Iran untuk mempertahankan kekuasaan semakin memperumit situasi.
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi pada 2015 yang bertujuan untuk mengakhiri konflik, menyerukan konstitusi baru, pemilihan umum yang diawasi oleh PBB, dan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.
Utusan PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, mengatakan bahwa eskalasi ini menunjukkan kegagalan kolektif untuk mewujudkan proses politik dan mendesak negosiasi substantif untuk menemukan jalan keluar dari konflik.
Ida Rosdalina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kota Aleppo, Palagan Baru yang Dikuasai Pemberontak Suriah