CAROK menjadi label yang disematkan pada insiden kekerasan di Desa Ketapang Lor, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang pada 17 November 2024. Di media sosial, insiden itu disebut "Carok Sampang". Buntut insiden tersebut, satu orang saksi Pilkada Sampang tewas. Pelaku pembunuhan itu disebut-sebut berjumlah tiga orang. Polisi telah menangkap mereka.
"Alhamdulillah, sudah ditangkap," kata Kapolda Jawa Timur, Inspektur Jenderal Imam Sugianto, saat dikonfirmasi Tempo, Rabu, 20 November 2024. Namun, dia tak mengungkapkan lebih jauh ihwal penangkapan tiga pelaku pembacokan di Sampang itu.
Carok dikenal sebagai sebuah tradisi duel antarpria yang berasal dari Madura, Jawa Timur, telah menjadi bagian dari budaya yang penuh nuansa sejarah dan adat. Meski sering kali dianggap brutal, carok awalnya bermakna sebagai bentuk mempertahankan kehormatan dan harga diri. Dalam praktiknya, carok bukan sekadar perkelahian, tetapi ritual yang diatur oleh norma adat yang ketat.
Awal Mula Tradisi Carok
Dinukil dari studi Budaya Carok Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat (2017) oleh Syamsul Arifin dari STAIN Kudus, meskipun tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun, istilah carok tidak tercatat dalam sejarah pada abad ke-12 M, ketika Madura dipimpin oleh Prabu Cakraningrat, hingga abad ke-17 M, masa pemerintahan Penembahan Semolo. Istilah carok baru dikenal pada era kolonial Belanda sekitar abad ke-17 M, bersamaan dengan penjajahan Nusantara, termasuk wilayah Madura, oleh Belanda. Pada masa itu, kekerasan kerap terjadi, terutama setelah VOC mulai menancapkan pengaruhnya di Madura.
Asal-usul carok dapat ditelusuri melalui kisah rakyat Madura yang berkembang. Tradisi ini bermula dari konflik antara Sakera, seorang mandor tebu di pabrik gula milik Belanda, dengan Brodin, Markasan, dan Carik Rembang, yang merupakan kaki tangan Belanda. Carik Rembang kala itu ditugaskan oleh Belanda untuk mencari lahan guna memperluas pabrik gula.
Dalam usahanya, Carik Rembang menggunakan cara-cara keji, seperti meneror pemilik tanah untuk mendapatkan harga murah. Ia juga menggunakan kekerasan dan janji-janji palsu berupa kekayaan agar pemilik tanah mau menyerahkan tanahnya. Melihat tindakan tidak adil ini, Sakera merasa terpanggil untuk melindungi masyarakat kecil dan berusaha menggagalkan rencana Carik Rembang.
Namun, Carik Rembang melaporkan Sakera kepada pihak Belanda. Untuk menyingkirkan Sakera, Belanda memerintahkan Markasan untuk membunuhnya. Markasan kemudian menantang Sakera untuk ecacca erok-orok atau adu kekuatan fisik pada waktu istirahat di pabrik tebu. Pertarungan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal tradisi carok.
Di pedalaman Madura, tradisi ini bahkan diwariskan lintas generasi. Keluarga korban carok biasanya menyimpan pakaian mendiang di rumah tetangga sebagai simbol, yang nantinya akan ditunjukkan kepada anak korban setelah ia dewasa. Anak tersebut kemudian ditanamkan tanggung jawab untuk membalas dendam dengan membunuh pelaku pembunuhan ayahnya. Tradisi ini terus berlangsung dari generasi ke generasi.
Carok merupakan tradisi khas Madura yang berakar pada istilah bahasa Kawi Kuno ecacca erok-orok, yang berarti “dibantai” atau “dimutilasi.” Secara definitif, carok adalah duel hidup dan mati yang digunakan untuk menyelesaikan konflik dalam kehidupan masyarakat Madura. Tradisi ini erat kaitannya dengan peribahasa katembheng pote mata ango’a poteya tolang yang bermakna “daripada menanggung malu, lebih baik mati.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Madura, mempertahankan harga diri adalah hal yang paling utama, bahkan lebih berharga dari nyawa.
Aturan dan Pemicu Carok
Carok biasanya dilakukan untuk menyelesaikan perkara yang menyangkut kehormatan dan martabat, baik secara individu, kelompok, maupun keluarga. Konflik yang memicu carok umumnya meliputi perselingkuhan, sengketa tanah, atau perebutan kekuasaan. Tradisi ini identik dengan penggunaan senjata tradisional Madura, celurit, yang awalnya merupakan alat pertanian untuk menyabit rumput.
Dalam praktiknya, carok tidak dilakukan sembarangan. Ada aturan dan syarat tertentu yang harus dipenuhi, karena tujuan utamanya adalah mengembalikan kehormatan yang tercemar, bukan semata-mata pembunuhan. Pelanggaran terhadap martabat atau harga diri dianggap sebagai alasan utama seseorang menantang pihak lain untuk carok.
Carok sendiri dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Ngonggai
Duel satu lawan satu secara terbuka, di mana kedua pihak sepakat untuk bertarung dengan aturan tertentu.
2. Nyelep
Menikam lawan secara tiba-tiba dari belakang. Cara ini mulai banyak digunakan sejak tahun 1970-an, menggantikan praktik ngonggai yang dianggap lebih “jantan.”
Dampak dan Pergeseran Makna Carok
Dikutip dari studi Sikap Masyarakat Madura Terhadap Tradisi Carok: Studi Fenomenologi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Madura (2015) dalam jurnal El Harakah, carok dapat dilakukan secara ngonggai (menantang duel satu lawan satu) atau nyelep (menikam musuh dari belakang). Di zaman awal kemunculannya, carok banyak dilakukan dengan cara ngonggai. Semenjak 1970-an terdapat pergeseran, carok kadang kala dilakukan secara nyelep.
Dengan adanya kebiasaan melakukan carok dengan cara nyelep, etika yang bermakna kejantanan bergeser menjadi brutal dan egois.
Pada zaman dahulu, ngonggai mencerminkan keberanian dan kejantanan. Namun, munculnya praktik nyelep menggeser nilai-nilai ini, menjadikan carok lebih brutal dan egois. Pergeseran ini menciptakan konotasi negatif terhadap carok, sehingga tradisi yang dulunya dianggap sakral kini sering dipandang sebagai tindakan kekerasan semata.
Selain itu, carok juga telah membentuk stereotip terhadap masyarakat Madura. Mereka sering dianggap kasar, arogan, bahkan menakutkan. Padahal, stereotip ini tidak selalu mencerminkan realitas masyarakat Madura yang juga kaya akan budaya luhur.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA | AMELIA RAHIMA SARI | HENDRIK KHOIRUL MUHID
Pilihan Editor: Polisi Tangkap 3 Pelaku Pembacokan Saksi Pilkada Sampang