TEMPO.CO, Jakarta - Tiga bulan usai menggeledah gedung Manggala Wanabakti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kejaksaan Agung akhirnya menetapkan tersangka di kasus korupsi tata kelola sawit periode 2005-2024. Penetapan tersangka korupsi itu disampaikan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam konfrensi pers rapat koordinasi desk pencegahan tindak pidana korupsi dan perbaikan tata kelola di gedung utama Kejaksaan Agung, Kamis 2 Januari 2025.
Jaksa Agung mengatakan ada pejabat Eselon I dan II KLHK yang telah menjadi tersangka dugaan korupsi tata kelola sawit. "Yang pasti ada," ujar Burhanuddin di gedung Kejaksaan Agung, Rabu, 8 Januari 2025.
Namun ia enggan menjelaskan identitas tersangka. "Sudah ada perbuatan melawan hukum, sudah kami inventarisir, sedang pendalaman," ujar dia.
Dia berjanji dalam waktu dekat kasus itu akan diumumkan ke publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumber Tempo di Kejaksaan Agung menyebut sampai kemarin, ada 77 orang yang diperiksa dalam kasus ini. Satu di antaranya adalah Sekjen KLHK Bambang Hendroyono.
"Sudah diperiksa lebih dari 3 kali," ujar sumber tersebut, Rabu.
Ketika penyidik kejaksaan menggeledah kantor KLHK pada 3 Oktober 2024, Bambang adalah pejabat eselon I KLHK yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal KLHK. Kini setelah kementerian tersebut dipecah di era Prabowo Subianto, Bambang menjadi penasihat utama Menteri Kehutanan.
Celah Korupsi Tata Kelola Sawit
Bicara soal tata kelola sawit, banyak aspek yang bisa saja jadi celah korupsi. Dikutip dari laman resmi KPK, mekanisme pengurusan izin mendirikan kebun kelapa sawit mencakup banyak hal. Mulai dari izin lokasi yang membutuhkan persetujuan Bupati/Wali Kota, izin lingkungan dari pemerintah sesuai lingkup izinnya, izin usaha perkebunan hingga SK pelepasan kawasan hutan dari KLHK jika lahan yang digarap masuk kawasan hutan.
Poin terakhir itulah yang jadi salah satu modus korupsi tata kelola sawit yang kini sedang diusut oleh kejaksaan. "Ini kan sudah ada penggeledahan terkait perkara apa, termasuk masalah pelepasan area kawasan hutan, ini ada dilahan konservasi, di hutan lindung," ujar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Ardiansyah, Rabu, 8 Januari 2025.
Febrie mengatakan, Jaksa Agung hati-hati menyebutkan nama tersangka dalam kasus ini karena penanganannya tidak hanya melibatkan beberapa kasus. Dikhawatirkan kasus ini akan berdampak pada ratusan perusahaan kebun sawit.
Modus lain di kasus ini adalah penerapan Pasal 110A dan 110B Undang-undang (UU) Cipta Kerja. Dalam regulasi tersebut diatur perusahaan yang memiliki izin usaha sebelum UU Cipta Kerja disahkan akan diputihkan atau dilegalkan. Areanya akan dikeluarkan dari kawasan hutan. Dengan catatan, mereka memenuhi persyaratan sebelum 2 November 2023. Jika tidak, mereka akan dikenai sanksi berupa pembayaran denda administratif dan atau izin usahanya dicabut sesuai dengan Pasal 110A UU Cipta Kerja.
Sementara bagi perusahaan yang tidak punya izin usaha sebelum UU Cipta Kerja berlaku, tapi terlanjur beroperasi di kawasan hutan, diberi kesempatan satu daur sejak masa panen dan harus membayar denda administratif. Hal itu diatur di Pasal 110B. Masa daur atau siklus diatur paling lama 25 tahun sejak masa tanam. Setelahnya mereka diharuskan memulihkan area itu menjadi kawasan hutan kembali.
Wewenang penarikan denda administratif ini dipegang oleh KLHK, yang kini beralih di bawah wewenang Kementerian Kehutanan. Dalam penghitungan denda penerapan kedua Pasal tersebut, KLHK kala itu membentuk Ketua Tim Satuan Pelaksana Pengawasan dan Pengendalian Implementasi UU Cipta Kerja yang dipimpin Bambang Hendroyono.
Febrie juga menyampaikan, kasus ini berkorelasi dengan temuan kebocoran uang negara sebesar Rp 300 triliun yang pernah diungkap oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusum. Angka itu diungkap Hasyim hanya berselang empat hari setelah penyidik kejaksaan menggeledah kantor KLHK. Data itu merupakan hasil hitungan dari BPKP.
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh saat itu mengatakan, angka ratusan triliunan rupiah tersebut diperoleh dari hitungan ketentuan di dua pasal tersebut, sekaligus temuan selisih pembayaran yang dilakukan. "Tapi kebanyakan 110B," ujar dia, 15 Oktober 2024.
2.130 Korporasi Kebun Sawit Beroperasi di Kawasan Hutan Tanpa Izin
Berdasarkan data KLHK tercatat ada 2.130 korporasi kebun sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa izin. Mereka tersebar di atas 3,3 juta hektare kawasan hutan selama belasan hingga puluhan tahun.
Pada 2023, pemerintah melalui tim satgas sawit yang dulu dipimpin mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kemudian memberikan pengampunan kepada korporasi-korporasi tersebut. Pengampunannya diatur dalam Pasal 110A dan 110B Undang-undang (UU) Cipta Kerja.
Namun regulasi ini bukan tampa hambatan. Data Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum KLHK per 28 Maret 2024 menyebutkan baru 365 perusahaan yang mengajukan pemutihan dari total 2.130 perusahaan. Sampai hari ini belum ada penjelasan pasti berapa jumlah denda administrasi yang sudah masuk kantong pemerintah.
Mengutip laporan Koran Tempo pada 14 Mei 2024, Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan mengatakan tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi KPK menemukan hanya 155 perusahaan yang membayar provisi sumber daya hutan-dana reboisasi PSDH-DR dengan nilai total Rp 648,8 miliar dari total perusahaan yang mengajukan pemutihan.
PSDH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan. Selain data tersebut, ada 49 perusahaan yang dikenai denda administratif sesuai dengan Pasal 110B. Nilai yang sudah dibayarkan baru Rp 175,5 miliar dari delapan perusahaan.
Febrie mengatakan, kasus yang tengah diusut oleh Kejaksaan ini juga merupakan tindak lanjut dari tim satgas sawit yang dulu dipimpin Luhut. Dalam tim tersebut Kejaksaan dan BPKP termasuk di dalamnya. Kini kejaksaan tengah memilah, mana dari perusahaan-perusahaan itu yang bisa diterapkan sanksi denda dan mana yang bisa dikenakan pelanggaran pidana.
"Nanti kita lihat apakah ini memang murni kesalahan pidana atau ada kelemahan pemerintah dalam proses administrasi. Ini kan ada tingkat dari daerah Bupati sampai pusat Kementerian," ujar dia.
Melihat tempus tindak pidana yang dilakukan, kejaksaan jelas tidak hanya melakukan pengusutan perihal penerapan Pasal 110A dan Pasal 110B. Seseorang yang ikut mengawal pelaporan kasus ini mengatakan, dalam praktek penerapan kedua Pasal tersebut, pasal itu kerap dijadikan alat untuk memeras para pengusaha. Dalih kesalahannya pun bisa dicari.
Sanksi Denda Dikeluhkan Pengusaha
Penerapan sanksi denda memang banyak dikeluhkan pengusaha lantaran Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tak membuka peluang bagi mereka mengajukan keberatan. Besaran denda yang dihitung berdasarkan rumus luas lahan terokupasi x potensi harga x 10 dianggap sudah final. Padahal di lapangan tak pernah jelas mana batasan kawasan hutan dan mana yang bukan.
Para pengusaha juga kerap disodori dua versi denda yang merujuk pada Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 661 Tahun 2023 tentang Penetapan Tarif Kebun Sawit di Hutan dan Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 1170 Tahun 2023 tentang Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit.
Sumber tersebut menjelaskan, meski secara regulasi tidak menyalahi aturan, namun dalam praktiknya terkait mana perusahaan yang dikenakan SK 66 dan SK 1170 ternyata sudah diatur dan ditentukan oleh pejabat di KLHK. Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 661 Tahun 2023 mengatur denda tarif tunggal. Sementara itu, Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 1170 Tahun 2023 memperhitungkan kekayaan alam lain yang turut tereksplorasi. Adapun ancaman hukuman dalam Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 1170 Tahun 2023 lebih berat dan kerap diperjualbelikan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono membenarkan kabar ihwal adanya dualisme aturan tersebut. Keluhan itu pernah mereka sampaikan kepada pemerintah yang berujung pada penerbitan Keputusan Menteri LHK Nomor 767 Tahun 2024. Aturan itu mengembalikan aturan denda menggunakan sistem tarif tunggal. “Jadi ada tebangan kayu atau tidak dalam kawasan hutan, dendanya tetap dengan tarif tunggal,” katanya dikutip dari Majalah Tempo, 20 Oktober 2024.
Dalam laporan tersebut Eddy menjelaskan, 3,3 juta hektare sawit yang tertanam di kawasan hutan tak hanya dikelola korporasi, tapi juga ditangani pengelola perkebunan rakyat. Dari jumlah itu, KLHK menerapkan sanksi denda atas penguasaan 700 ribu hektare sawit. Sekitar 537 perusahaan anggota Gapki disebutnya sudah berupaya melengkapi syarat seperti sertifikat hak guna usaha. “Tapi mengalami kendala karena adanya tumpang-tindih kawasan hutan,” ucapnya.
Eddy menilai kasus ini muncul karena ketidaksinkronan aturan tata ruang pusat dengan daerah. Beberapa kawasan hutan tertentu bahkan tak pernah terjelaskan statusnya. Ia berharap penyidikan kasus ini mendorong pemerintah menata ulang kepastian batas kawasan hutan. Selama ini banyak perusahaan yang menjadi korban denda administrasi. “Kalau ada kepastian tata batas, saya meyakini kasus seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ujarnya
Di awal kasus ini menyeruak, Tempo mencoba mengkonfirmasi sejumlah pejabat KLHK yang saat itu menjabat. Di antaranya melalui Menteri KLHK Siti Nurbaya, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono dan Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani, namun mereka tidak merespons pesan maupun panggian Tempo.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Mamat Rahmat memilih irit bicara. “Maaf, saya belum bisa berkomentar,” tuturnya, dikutip dari Majalah Tempo, 20 Oktober 2024. Sementara Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Satyawan Pudyatmoko saat itu hanya membalas, "Terimakasih, ini lebih tepat kalau ditanyakan ke Sekjen," tulis dia melalui aplikasi perpesanan, Kamis, 17 OKtober 2024.
Avit Hidayat dan Riky Ferdianto berkontribusi dalam tulisan ini. Pilihan Editor: KY Dalami Dugaan Pelanggaran Etik Hakim yang Vonis Harvey Moeis 6,5 Tahun Penjara