Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Dulu, jam kantor adalah patokan hidup. Orang bangun pagi, berangkat ke tempat kerja, makan siang pukul dua belas, pulang pukul lima sore, dan menunggu gajian di akhir bulan. Sekarang, semuanya kabur. Jam kantor menguap seperti kabut di pagi hari.
Kita hidup di negeri tanpa jam kantor, di mana kerja bisa dimulai dari kasur, kafe, trotoar pinggir jalan, atau sambil rebahan.
Yang penting: ada jaringan, ada sinyal, ada pesanan. Inilah wajah baru dunia kerja, dunia yang disebut orang sebagai "gig economy."
Baca juga: Mendorong Kemandirian Ekonomi Desa, Komitmen Astra Melalui Desa Sejahtera Astra Bajawa
Pekerja Tanpa Bos
Saya sering melihat mereka di sekitar kita: Bayu, driver daring, sejak subuh sudah menyalakan aplikasi, menunggu suara ting yang menentukan apakah hari itu bisa beli beras atau tidak. Rara, desainer lepas, bisa bekerja dari mana saja, tapi juga bisa kelelahan di mana saja.
Andri, kurir logistik, berpacu setiap hari dengan jam pengiriman. Lila, penulis konten digital, katanya “bebas waktu,” tapi tiap malam dikejar klien yang minta revisi mendadak.
Mereka semua bukan buruh pabrik, bukan pegawai negeri, bukan pula karyawan tetap. Mereka adalah pekerja tanpa bos, tapi juga tanpa perlindungan.
Baca juga: Kurangi Kemacetan, Anggota DPRD Depok Ubaidillah Sarankan Percepatan Pembangunan Jalan Limo-Cinere
Kebebasan Datang Bersama Ketidakpastian
Saya pernah iri pada mereka yang mengaku “bebas bekerja kapan pun, dimana pun." Tapi semakin lama saya berada di dalamnya, saya sadar: kebebasan yang terlalu luas kadang hanya bentuk lain dari ketidakpastian.
Kita tidak punya jam kerja tapi juga tidak punya jam berhenti. Laptop bisa menyala dari pagi sampai tengah malam, kepala terus bekerja meski tubuh sudah letih.
Pekerjaan datang silih berganti, tapi rasa tenang tak pernah benar-benar hadir. Karena setiap pekerjaan bukan cuma rezeki, tapi juga taruhan: kalau hari ini tak ada proyek, besok siapa yang tahu?
Baca juga: Ratusan Kepsek di Depok Dibekali Teknis Implementasi Koding Kecerdasan Artifisial
Mitra, Bukan Karyawan dan Bos Bernama Algoritma
Bagi banyak orang, gig economy terdengar keren: fleksibel, modern, mandiri. Namun di balik istilah yang berkilau itu, ada kenyataan yang sunyi. Tidak ada jaminan kesehatan, tidak ada tunjangan hari tua, tidak ada cuti. Kalau sakit, berarti berhenti. Kalau berhenti, berarti kehilangan penghasilan.
Kita punya bahasa yang terdengar keren, dipanggil “mitra”, bukan karyawan agar perusahaan bisa mencuci tangannya dari tanggung jawab.
Kita disebut “bebas”, padahal yang menentukan penghasilan kita bukan lagi bos manusia, melainkan bos algoritma: sistem yang menentukan siapa dapat order dan siapa tenggelam di antrean.
Baca juga: MTQH XXIV Tingkat Kota Depok, Ini Sembilan Cabang yang Dilombakan
Eksistensi Sebagai Tuntutan Baru
Saya teringat percakapan dengan teman lama, seorang content creator. Ia bilang, “Kerja di dunia digital itu seru, tapi kamu harus terus tampil. Kalau kamu berhenti posting, kamu hilang.” Dunia ini tak hanya menuntut kerja keras, tapi juga eksistensi terus menerus. Kita tak lagi sekadar menjual tenaga, tapi juga menjual perhatian bahkan identitas diri.
Begitu banyak dari kita hidup di bawah tekanan tak kasat mata. Bukan dari bos yang galak, tapi dari ketakutan akan dilupakan sistem.
Solidaritas yang Lahir dari Dunia Digital
Namun, di sisi lain, saya juga tidak bisa menafikan kehebatan para pekerja gig. Mereka mandiri, kreatif, adaptif. Mereka membuktikan bahwa kerja tidak lagi harus diatur dari ruang rapat dan jam absen. Dari dapur sempit, kamar kos, hingga pinggir jalan, mereka menciptakan ekonomi sendiri.
Saya pernah melihat Bayu membantu rekan ojek yang ban motornya bocor di tengah jalan. Saya juga mengenal Lila yang membangun komunitas freelancer agar sesama pekerja lepas bisa saling berbagi proyek.
Ada solidaritas yang tumbuh dari ruang digital, sesuatu yang dulu hanya ditemukan di pabrik atau kantor. Sayangnya, solidaritas tanpa sistem hanya bertahan sejauh kuota data. Begitu aplikasi ditutup, masing-masing kembali berjuang sendiri.
Masa Depan yang Membingungkan
Gig economy, kata sebagian orang, adalah masa depan. Tapi masa depan yang seperti apa? Apakah kita menuju dunia di mana kerja berarti kebebasan, atau kesepian yang dibungkus algoritma?
Dulu, kita takut pada bos yang menekan dari atas. Sekarang, tekanan datang dari bawah, dari perut, dari cicilan, dari beragam tagihan, dari orang rumah yang tak tahu perjuangan hidup, dari notifikasi yang tak pernah diam. Ironisnya, semua tekanan itu kita terima dengan senyum, karena disebut “peluang.”
Perjuangan Zaman Baru
Saya percaya, setiap zaman punya bentuk perjuangannya sendiri. Kalau dulu orang menuntut delapan jam kerja, upah layak, dan cuti tahunan, mungkin hari ini kita harus menuntut hak untuk diam tanpa kehilangan pendapatan.
Hak untuk sakit tanpa takut tak makan. Hak untuk bebas yang benar-benar bebas, bukan bebas dalam pengawasan sistem digital.
Karena gig economy seharusnya bukan hanya tentang efisiensi dan fleksibilitas, tapi juga tentang martabat manusia dalam bekerja.
Baca juga: Filosofi dan Konsep Pendidikan Rahmah El Yunusiyah Menumbuhkan Generasi Emas
Antara Kemajuan dan Kerapuhan
Saya menulis ini bukan untuk menolak perubahan zaman. Saya tahu, dunia digital membuka banyak pintu. Namun saya juga tahu, tidak semua orang punya kunci yang sama.
Mereka yang kuat akan bertahan, tapi yang lemah bisa tenggelam pelan-pelan tanpa ada yang sempat menoleh. Dan ketika itu terjadi, gig economy bukan lagi ekonomi berbagi, melainkan ekonomi bertarung.
Kerinduan yang Paling Manusiawi
Di negeri tanpa jam kantor ini, kerja bisa dilakukan di mana saja, kapan saja. Namun di tengah semua kebebasan itu, kita diam-diam merindukan satu hal yang sederhana: kepastian. Bukan kepastian tentang gaji besar, tapi kepastian bahwa hidup kita masih punya ritme, bahwa waktu istirahat bukan dosa, dan bahwa manusia masih lebih penting daripada algoritma.
Karena sesungguhnya, di balik semua aplikasi dan notifikasi, kita semua hanya ingin satu hal yang sama: hidup yang layak tanpa harus terus menatap layar untuk mencarinya.
Tulisan ini bukan nostalgia terhadap masa lalu yang stabil, melainkan refleksi tentang masa kini yang terlalu cepat. Kita boleh mencintai fleksibilitas, tapi jangan lupa memperjuangkan perlindungan. Sebab kebebasan sejati bukan berarti bekerja tanpa bos, melainkan bekerja dengan rasa aman tanpa kehilangan diri sendiri.
Baca juga: Pertamina Datangkan Kapal Tanker dan Pastikan Penyaluran BBM di Bengkulu Aman
Saya mencoba mengajak pembaca menatap lebih dalam wajah baru dunia kerja di era digital, dunia yang tampak gemerlap, namun menyimpan paradoks: kebebasan yang datang bersama ketidakpastian.
Melalui kisah, observasi, dan refleksi personal, tulisan ini menumbuhkan empati terhadap jutaan pekerja tanpa bos dari driver daring hingga kreator digital yang terus berjuang di tengah sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada manusia.
Lebih dari sekadar kritik, tulisan ini adalah ajakan untuk merenungkan kembali makna kerja, waktu, dan martabat. Bahwa kemajuan sejati bukan diukur dari seberapa cepat kita bekerja, tetapi seberapa manusiawi kita memperlakukan mereka yang bekerja.
Di tengah derasnya notifikasi dan algoritma, kita diingatkan bahwa yang paling penting bukan sekadar bertahan tapi memastikan bahwa dalam mencari nafkah, kita tidak kehilangan kemanusiaan. (***)
Penulis: Djoni Satria/Wartawan Senior

2 hours ago
4















































