REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace Indonesia menyebut bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh bukan semata-mata disebabkan oleh siklon tropis, tetapi turut dipicu oleh menurunnya daya dukung dan daya tampung lingkungan yang semakin terdegradasi.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan aktivitas ekonomi ekstraktif seperti perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI) menjadi penyebab utama turunnya kemampuan ekosistem menahan laju air hujan dalam siklus ini.
“Dua komoditas ini yang lebih parah secara luas-luasannya, kemudian juga monokultur. Nah, sementara tambang, misalnya yang di Batang Toru, kan ada satu tambang. Dia kecil, enggak terlalu luas,” ujarnya saat dihubungi.
Secara spesifik di wilayah Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara misalnya, Greenpeace mencatat terdapat sekitar 94 ribu hektare lahan yang mayoritas digunakan oleh industri ekstraktif kelapa sawit dan 28 persen di antaranya juga terdiri dari hutan tanaman industri.
“Yang luas itu apa? HPH sekarang (disebut) PBPH, logging concession bahasanya, dan hutan tanaman industri serta perkebunan sawit,” tegasnya.
Sementara itu, Manajer Penanganan dan Pencegahan Bencana Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Melva Harahap, mengatakan bahwa di tiga provinsi: Sumut, Sumbar, dan Aceh, alih fungsi ekosistem telah terjadi dalam skala besar.
Menurutnya, anomali cuaca dan siklon tropis memang wajar terjadi. Namun jika melihat satu dekade terakhir, ketiga provinsi tersebut memang kerap dilanda banjir, tetapi tidak pernah separah kali ini dampaknya.
Melva menjelaskan bahwa aktivitas ekonomi yang bersifat eksploitasi dengan izin konsesi berskala besar telah memperparah degradasi lingkungan di wilayah tersebut.
Tutupan hutan yang seharusnya mampu menampung dan menyerap air hujan kini tidak lagi berfungsi optimal akibat perubahan ekosistem yang masif. Kondisi itu membuat air hujan yang turun mengalir bebas membawa sedimen dan material lain, sehingga memicu banjir dan longsor seperti yang terjadi saat ini.
“Tapi enggak pernah tuh dampaknya sampai sedemikian rupa hari ini. Ketika siklus bumi hujan muncul, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidupnya enggak ada, ya banjirlah kemudian yang kita tuai hari ini. Banjir dan longsor,” bebernya.
Oleh karena itu, Walhi mendorong pemerintah untuk mereview kembali perusahaan-perusahaan ekstraktif yang beroperasi di wilayah terdampak, agar kejadian serupa dapat diminimalkan ke depan.
“Kedua, memulihkan kembali ekosistem yang ada. Setelah direview izinnya, maka kita harus mengembalikan, memulihkan ekosistemnya,” tutupnya.

1 hour ago
6











































