Outlook 2025: Bagaimana Pemerintahan Prabowo Penuhi Target Bauran Energi Terbarukan

5 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia menargetkan bauran energi baru dan energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025. Target ini bagian dari komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia hingga akhir tahun 2024 baru mencapai 14 persen. Angka ini masih jauh dari target yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 23 persen pada tahun 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menyampaikan, bauran EBT di Indonesia menunjukkan peningkatan sebesar satu persen dibandingkan awal tahun 2024. “Capaian bauran EBT kita sebelumnya 13,9 persen, sekarang sudah mencapai 14,1 persen. Target bauran EBT yang tercapai bertambah satu persen,” kata Eniya dalam seminar di Jakarta, Kamis, 16 Januari 2025.

Menurut Eniya, kendati mencatat pertumbuhan sebesar satu persen, pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia hingga kini masih terbatas. Sebagai perbandingan, tambahan satu persen pada 2024 tersebut sama dengan 872 megawatt (MG), sementara total potensi EBT adalah sebesar 3,6 terawatt (TW) itu berarti baru ada pemanfaatan sekitar 14,11 gigawatt (GW) atau 0,38 persen.

Eniya mengatakan, target bauran tersebut bakal dibahas melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk periode berikutnya. “Target itu menunggu KEN, yang nantinya ada target untuk 2025-2026. Jadi tadi kan Pak Purnomo juga sudah bilang bahwa perlu diubah. Memang KEN itu kan 10 tahunan. Ini sedang dibahas,” kata dia. 

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi saat ditemui di acara ESG Symposium 2024 yang berlangsung di Jakarta Pusat pada Selasa, 19 November 2024. TEMPO/Nabiila Azzahra A

Target KEN berikutnya akan menyesuaikan angka pertumbuhan ekonomi nasional. “Perlu ditinjau karena waktu itu perhitungannya masih berdasarkan pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Nah ini harus ditinjau ulang karena target kita adalah 8 persen,” ujarnya. “Saya melihat 23 persen itu diprediksikan tercapai di 2028-2029,” ujar Eniya.

Selain itu, Investasi mengenai EBT, kata Eniya, akan lebih terakselerasi dengan adanya terobosan melalui pengaturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) yang telah diatur melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri Untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. "Peraturan Menteri Nomor 11 Tahun 2024 adalah bottle neck dari isu investasi di subsektor EBT. Isu TKDN menjadi hal krusial yang disebut-sebut menghambat investasi, sehingga kami sudah keluarkan aturan baru terkait TKDN proyek EBT. Dengan adanya aturan itu, investasi mulai berjalan," tuturnya. 

Proyek EBT yang berlanjut setelah keluarnya aturan TKDN, antara lain proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung yang kini sudah melakukan perjanjian jual beli tenaga listrik atau merampungkan power purchase agreement (PPA), yakni PLTS Terapung Singkarak dan Saguling, serta PLTS Terapung Karangkates yang hingga tahap penandatanganan Letter of Intent (LoI). Selain itu, Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Hululais, Dieng, Dieng 2, dan Patuha 2 juga langsung bergerak setelah terbitnya aturan tersebut. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan berdasarkan KEN dan RUEN, Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23 persen pada tahun 2025. “Realisasi trayektori tidak selaras dengan target itu, 2024 harusnya sudah mencapai 21 persen dan 2023 mencapai 18 persen. Tapi di 2024 kita baru mencapai 14 persen. Jadi kalau bicara trayektori dengan target itu, jauh panggang dari api,” katanya saat dihubungi pada Senin, 13 Januari 2025.

Pemerintah masih memiliki waktu satu tahun untuk mempercepat pencapaian target tersebut. Namun, menurutnya, dengan waktu yang hanya tersisa 11 bulan hingga akhir 2025, mencapai 23 persen akan sangat sulit untuk tercapai. “Hal ini setara dengan pembangunan sembilan gigawatt dalam satu tahun. Sebab, untuk merealisasikan sembilan gigawatt dalam waktu setahun, proyek-proyek tersebut seharusnya sudah dimulai 3-4 tahun yang lalu,” tuturnya. 

Fabby mengatakan pemerintah bisa mengakselerasi menaikkan polaritas energi terbarukan itu dengan mempercepat eksekusi dari proyek-proyek PLN yang sudah masuk di pipeline. Lalu berikutnya, menurut Fabby, pemerintah bisa melibatkan pelanggan PLN khususnya industri, dalam pemanfaatan PLT Surya Atap. Fabby menilai masyarakat juga mempunyai kepentingan dalam meningkatkan bauran energi. Selain itu, pemerintah perlu berfokus menyediakan dan mendanai energi di daerah tertinggal menggunakan energi terbarukan.

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyatakan, tidak tercapainya target EBT menjadi indikasi program transisi energi era pemerintahan sebelumnya gagal. "Program transisi energi yang digagas Jokowi selama sepuluh tahun gagal total, karena targetnya tidak tercapai,” katanya saat dihubungi pada Senin, 13 Januari 2025. "Saya kira target 19 pun sulit untuk dicapai."

Saat ini belum terlihat adanya perubahan kebijakan yang signifikan, hanya ada pernyataan umum mengenai kondisi energi dalam 4-5 tahun mendatang. Fahmy menilai, rencana menteri ESDM peningkatan produksi lifting minyak juga tidak sesuai dengan komitmen Prabowo yang berfokus pada pengembangan energi baru terbarukan. “Mestinya kebijakan dari kementerian terkait itu semua diarahkan pada fokus untuk membuat energi baru terbarukan,” ucapnya. 

Dalam mendorong pencapaian target EBT, menurutnya, mesti ada perbaikan di sektor komitmen pemerintah untuk merealisasikan target. Perubahan paradigma dan inovasi mengenai dana investasi untuk pembangunan infrastruktur menurut Fahmy juga perlu. “Para pengambil keputusan harus merubah paradigma dengan tidak lagi mengandalkan energi fosil. Paradigma tadi harus mengubah dengan energi baru terbarukan tadi,” katanya. “Selain itu, mengusahakan teknologi dan dana yang dibutuhkan untuk investasi dengan jangka panjang,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menyebutkan pemerintah memang menetapkan target bauran EBT yang cukup menantang, mengingat hal tersebut masih terbilang baru. Dia menjelaskan, dalam bisnis baru seperti ini, biaya pemasangan awalnya  masih cukup tinggi, begitu juga dengan investasi yang diperlukan. “Biaya produksi atau harga energi yang dihasilkan kemungkinan akan lebih mahal dibandingkan dengan sumber energi yang sudah ada,” ucapnya saat dihubungi pada Senin, 13 Januari 2025.

Komaidi mengungkapkan, Indikator utama untuk mengevaluasi target tersebut dapat tercapai atau tidak, dapat dilihat dari pola kehidupan sehari-hari. Misalnya, saat kita pergi ke kantor, sekolah, atau tempat kerja, belum menggunakan energi baru terbarukan. Sebagai contoh, meskipun di rumah terdapat motor listrik, penggunaannya masih terbatas dan belum banyak yang memanfaatkan EBT. Begitu pula di dapur, masih bergantung pada energi fosil.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |