TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) dan perwakilan masyarakat nelayan pesisir Tangerang melaporkan kasus pemasangan pagar laut ke polisi. Dalam laporan tersebut, PBHI melampirkan pemagaran laut itu melanggar 13 ketentuan dalam undang-undang dan aturan turunannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengurus PBHI, Gina Sabrina mengatakan belum ada info lebih lanjut dari pihak kepolisian sejak kasus itu dilaporkan pada pekan lalu. “Kami sudah melaporkan ke Mabes Polri, namun sampai saat ini masih menunggu proses hukum,” kata Ghina saat menjadi pembicara dalam diskusi daring yang diselenggarakan FIAN Indonesia, Jumat, 24 Januari 2025.
Ghina mengatakan, polisi harus menyeret aktor di balik pemasangan pagar laut itu. Menurut dia, pihak yang terlibat sudah jelas, yakni perusahaan yang terafiliasi dengan proyek pengembangan PIK 2. Sehingga, kata Gina, tak ada alasan bagi polisi untuk mengklaim bahwa pemasang pagar laut masih misterius. “Aktor intelektual dan pemodalnya siapa, itu sudah jelas. Jangan anggap otak di balik ini misterius, tinggal keberanian saja mau bertindak atau tidak,” kata Ghina.
Adapun pelanggaran terhadap 13 peraturan perundang-undangan yang bisa dikenakan dalam kasus pagar laut yaitu, UU Cipta Kerja, UU Pokok Agraria, UU Kelautan dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Kemudian UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan aturan turunan dari sejumlah undang-undang tersebut. “Belum lagi menghitung sejumlah perizinan lainnya yang tidak ada,” kata Gina.
Menurut dia, pelaku pelanggaran terhadap sejumlah peraturan tersebut bisa dikenakan pasal berlapis. “Jangan sampai aktor yang ditangkap adalah aktor lapangan, bukan aktor intelektual,” ujarnya.
Menteri ATR/Kepala BPN Nusron Wahid mengatakan setidaknya ada 263 bidang dalam bentuk sertifikat HGB di wilayah perairan Tangerang. Rinciannya, atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang, serta atas nama perorangan sebanyak 9 bidang.
“Ada juga SHM, surat hak milik, atas 17 bidang,” kata Nusron dalam konferensi pers di Kementerian ATR/BPN pada Senin, 20 Januari 2025. “Lokasinya juga benar adanya sesuai aplikasi Bhumi, yaitu di Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang”.
Dari temuan tersebut, Nusron bakal berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG). Hal itu untuk memastikan apakah titik sertifikat HGB tersebut berada di dalam atau di luar garis pantai. Bila ternyata sertifikat HGB diterbitkan di luar garis pantai alias di wilayah lautan, Nusron berjanji bakal melakukan evaluasi. “Tentu akan kami tinjau ulang,” ucapnya.
Nusron mengklaim masih memiliki kewenangan lantaran sertifikat HGB tersebut terbit pada 2025. Menurut dia, selama sertifikat HGB belum berusia lima tahun dan terbukti secara faktual ada cacat prosedural, cacat material, dan cacat hukum, maka sertifikat tersebut bisa dibatalkan dan ditinjau ulang tanpa harus dengan perintah peradilan.
Pagar laut di perairan Tangerang terbentang sepanjang 30,16 kilometer. Keberadaan pagar dari bambu itu mengganggu aktivitas para nelayan. Nusron sempat menyatakan tidak akan melakukan intervensi lantaran persoalan pagar bambu sepanjang 30,16 kilometer itu berada di wilayah lautan. Sedangkan kewenangan Kementerian ATR/BPN, kata dia, masalah tata ruang di wilayah darat. “Selama masih di laut, itu adalah rezimnya laut,” kata Nusron di kantornya, pada Rabu, 15 Januari 2025, dikutip dari keterangan resmi.