TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok masyarakat sipil dan pegiat hak asasi manusia (HAM) berharap pemerintahan Prabowo Subianto tak menggunakan mekanisme non-yudisial dalam upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat.
Staf Divisi Impunitas dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jessenia Destarini Asmoro, mengatakan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat mesti diselesaikan sesuai dengan prinsip yang termaktub dalam undang-undang.
"Pelanggaran HAM berat adalah bentuk kejahatan, pelaku harus diadili. Tidak bisa hanya memberikan pemulihan bagi korban," kata Destarini saat dihubungi, Rabu, 23 Oktober 2024.
Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial, kata dia, lahir saat era pemerintahan presiden ke-7 Jokowi, yang secara kerangka tidak memiliki aturan ideal. Mekanisme tersebut justru malah membuat impunitas negara makin panjang.
Pemerintahan Prabowo, kata Destarini, harus menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat sebagaimana kerangka yang ada, yaitu merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Di Undang-Undang Pengadilan HAM, tidak disebutkan jika penyelesaian harus dilakukan melalui mekanisme non-yudisial maupun yudisial. Namun, pelanggaran HAM mesti diselesaikan melalui mekanisme hukum.
"Artinya pelaku harus tetap diadili. Tidak bisa korban diberikan pemulihan sementara pelaku bebas berkeliaran," ujar dia.
Adapun penuntasan kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial dilakukan oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM), yang dibentuk Jokowi pada tahun lalu.
Pada 11 Januari 2023, Tim PPHAM menyerahkan sebelas rekomendasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat pada Jokowi. Pada waktu yang bersamaan, Jokowi mengakui terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat.
Sebanyak 12 kasus pelanggaran HAM berat itu, antara lain kasus pembunuhan massal 1965; peristiwa Talangsari, Lampung 1989; penghilangan orang secara paksa 1997-1998; peristiwa Rumoh Geudong, Aceh 1998; dan kerusuhan Mei 1998. Selain itu, ada tragedi Trisakti; Semanggi I dan II; peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999; peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999; peristiwa Wasior dan Wamena 2001; serta peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Pegiat HAM Yones Douw mengatakan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme non-yudisial tidak sepenuhnya dapat diterima oleh korban maupun keluarga korban.
Iklan
Penuntasan secara non-yudisial, alih-alih menjadi alternatif malah menyebabkan langgengnya impunitas negara dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat.
"Tidak ada nyawa yang bisa digantikan dengan pemulihan berupa pemberian bantuan materi. Korban menginginkan keadilan," ujar Yones.
Yones berharap, dibentuknya Kementerian HAM di pemerintahan Prabowo Subianto dapat menjadikan pemerintahan ini lebih progresif dalam upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Apalagi, Kementerian HAM dipimpin oleh pegiat HAM, Natalius Pigai dan wakilnya, Mugiyanto Sapin.
Natalius Pigai dan Wakil Mugiyanto Sapin belum menjawab pesan pertanyaan Tempo, ihwal bagaimana upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang akan dilakukan Prabowo di pemerintahannya, baik secara yudisial atau non-yudisial sebagaimana yang dilakukan presiden Jokowi sebelumnya.
Pada Selasa, 22 Oktober 2024, Menteri Koordinator bidang Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemerintahan Prabowo bakal mengkaji seluruh rekomendasi dan temuan pemerintah-pemerintah terdahulu mengenai peristiwa 1998.
Begitu juga dengan pernyataan presiden Jokowi yang mengakui dan menyesalkan 12 kasus pelanggaran HAM berat, kata dia, akan dikoordinasikan dengan Menteri HAM, bahkan sebagai Menko bidang Hukum dan HAM, Yusril mengklaim akan mendengar kembali pernyataan Komnas HAM.
"Percayalah bahwa pemerintah punya komitmen menegakkan masalah-masalah HAM itu sendiri," ujar Yusril.
Daniel Ahmad Fajri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Prabowo Tulis Pesan Saat Serah Terima Jabatan di Kementerian Pertahanan