Pemuda Bekasi di Balik Studi Tangkap Karbon Pakai Energi Surya

5 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Seorang peneliti muda asal Indonesia berada di balik studi metode baru untuk menangkap dan menyimpan karbon (carbon capture and storage). Metode yang meniru mekanisme fotosintesis pada tumbuhan hijau itu menawarkan biaya yang lebih rendah lewat penggunaan sinar matahari secara langsung sebagai sumber energinya.

“Ini sama sekali berbeda daripada apa yang dilakukan orang lain dalam penangkapan karbon,” kata Phillip Milner, profesor kimia dan biologi kimia di Cornell University, Amerika Serikat. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Milner dikutip dari artikel berita di website Cornell yang terbit bersamaan dengan publikasi hasil penelitian tentang metode CCS pakai energi surya tersebut di Jurnal Chem, 9 Mei 2025. Saat itu sang profesor menyebut nama Bayu Ahmad, mahasiswa program pascasarjana yang bergabung dalam tim peneliti di laboratoriumnya sebagai peneliti pertama dalam studi.

"Ketika ia pertama kali menunjukkannya, saya pikir itu tidak akan pernah berhasil. Ternyata berhasil," kata Millner.

Bayu Ahmad yang dimaksud adalah Bayu Imaduddin Zulkifli Ahmad, 27 tahun. Pemuda asal Bekasi, Jawa Barat, ini tengah berada di tahun keempatnya dari lima tahun program pascasarjana di Cornell University dengan fokus penelitian kimia organik dan lingkungan. 

Bayu mengungkap mulai terlibat dalam studi Carbon Capture and Storage (CCS) pada tahun keduanya di Cornell, yakni sekitar Mei 2022. "Waktu itu ada rapat grup penelitian, kami diskusi apa senyawa yang bisa digunakan untuk mengembangkan performa Carbon Capture and Storage," katanya saat dihubungi, Kamis 15 Mei 2025.

Proyek awal Bayu bukanlah tentang CCS. Dalam wawancara via aplikasi konferensi video itu, Bayu menekankan sikapnya yang justru menentang teknologi tangkap karbon karena prosesnya yang masih melibatkan sumber energi dari fosil--penghasil karbon. 

Dia lalu memberi usul, didorong oleh rasa penasarannya, yakni mengadopsi cara tumbuhan hijau dalam menyerap karbon dioksida dan mengikat karbon untuk proses fotosintesis. Seperti diketahui, proses tumbuhan memasak makanannya itu hanya memanfaatkan sinar matahari yang ketersediaannya berlimpah di alam dan terbarukan. Dalam proses itu, senyawa enol menjadi kunci bagi tumbuhan untuk bisa bereaksi dengan karbon dioksida di udara.

Didukung riset, sederet pertanyaan susulan mengalir, seperti mungkinkah senyawa enol bisa bereaksi dengan karbon dioksida jika diaplikasikan di luar tumbuhan. Juga, pengembangan seperti, bisakah sinar matahari dipanen secara langsung untuk membuat enol--yang pada tumbuhan, Bayu menyebutkan, harus lewat dua rangkaian sistem perantara.

Kalaupun bisa, bagaimana caranya agar karbon yang kemudian bisa diikat itu bisa diubah bentuknya untuk kebutuhan penyimpanan. "Karena reaksi yang pernah dipakai itu kan cuma untuk menangkap sekali, sudah selesai, yakni untuk membuat senyawa yang lain," katanya.

Bayu membenarkan pernyataan Milner yang awalnya tidak yakin. Dia menduga karena studi reaksi kimia untuk CCS tergolong baru. Terlebih yang disodorkannya adalah CCS pakai energi surya secara langsung.

Sistemnya, Bayu menyebutkan, sangat berbeda antara yang ada pada tumbuhan dengan metode yang sudah diaplikasikan. Itu sebabnya, dia mengaku tak heran ketika profesornya itu merespons dengan memintanya fokus ke proyek penelitiannya yang awal, yakni mencari material baru untuk efisiensi energi di industri.

"Saya-nya aja yang ngebandel, terus mengetes dan ternyata berhasil," kata Bayu. Alumni SMA 1 Bekasi ini kemudian kembali kepada Milner dan menunjukkannya. "Dia bilang, 'Mantap', dan jadilah kami kembangkan terus."

Bayu Imaduddin Zulkifli Ahmad, peneliti kimia organik asal Indonesia di Cornell University, Amerika Serikat. Dok. Pribadi

Milner, Bayu, anggota tim lainnya kemudian menguji sistem yang mereka kembangkan itu pada gas buang dari Combined Heat and Power Building Cornell, pembangkit listrik di kampus itu yang menggunakan gas alam sebagai sumber energinya. Hasilnya, mereka berhasil mengisolasi karbon dioksida. "Walaupun ada kontaminan, syukur berhasil," kata Bayu. 

Untuk metodenya itu, Bayu dan tim membuat inovasi agar enol bisa lebih reaktif terhadap karbon dioksida. Selain juga mengembangkan metode sehingga sistem bisa digunakan untuk melepaskan karbon dioksida kembali dengan mudah untuk kepentingan penyimpanan.

"kami menemukan pula kemampuan mendeteksi perbedaan dalam laju penyerapan cahaya matahari dalam jangka waktu seperjutaan detik...benar-benar cepat sekali sudah terlepas karbonnya," katanya menuturkan.

Tentu saja, Bayu menambahkan, metode yang baru dikembangkannya ini belum bisa dibandingkan dengan metode CCS yang sudah ada puluhan tahun. Namun, Bayu menekankan, metode baru ini memiliki penekanan pada penggunaan cahaya matahari sebagai sumber energinya.

Bayu menghitung, teknologi yang ada kalau dipakaikan dengan sinar matahari sebagai sumber energinya, maksimal efisiensinya hanya 2,4 persen. Penyebabnya, sinar matahari harus lewat panel surya dan rangkaian proses kimia. 

"Adapun kami menggunakan energi cahaya matahari secara langsung, efisiensinya bisa 30-40 persen," kata Bayu.

Saat ini dan ke depannya, dia mengungkapkan, fokus penelitian adalah mengembangkan senyawa dan reaksi kimia untuk memanfaatkan cahaya matahari lebih efisien. Contoh, bisa menyerap gelombang cahaya biru dan hijau juga selain saat ini yang kebanyakan masih bergantung cahaya ungu.

"Kami di bidang kimia organik adalah ahlinya dalam mengembangkan profil absorpsi cahaya matahari," kata pmuda yang telah studi di Amerika Serikat selama delapan tahun itu, terhitung sejak program S1 di Middlebury College. 

Bayu dan tim juga berambisi untuk bisa menangkap karbon dioksida langsung dari udara. "Karena kalau kita pikir jangka panjang, negara-negara berusaha mengurangi bahan bakar fosil tapi CO2 di atmosfer tetap harus dikurangi."

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |