TEMPO.CO, Jakarta - Skeptis adalah istilah yang menyatakan kurang percaya, sebagaimana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Selain itu, skeptis juga dapat diartikan sebagai sikap ragu-ragu terhadap keberhasilan ajaran dan sebagainya.
Menurut Tanzil: Jurnal Studi Al-Quran (2017), kata skeptis secara etimologi berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu skepsis atau skeptesthai, yang berarti investigasi atau pencarian. Berikut ini penjelasan lengkapnya.
Pengertian Skeptis
Melansir repository.uinfasbengkulu.ac.id, skeptis adalah sikap yang suka meragukan segala sesuatu. Seseorang yang skeptis cenderung meyakini pandangannya sendiri dan meragukan pandangan orang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemudian, berdasarkan digilib.unila.ac.id, skeptis merupakan sikap mencari kebenaran dari suatu kesimpulan.
Sikap skeptis terlihat pada kebiasaan mencari informasi sebanyak mungkin untuk dibandingkan kelebihan dan kekurangannya, kecocokannya, kebenarannya, serta sebagainya.
Senada dengan hal itu, mengacu pada repository.unpas.ac.id, sikap skeptis merupakan sebuah pendirian di dalam epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menyangsikan kenyataan yang diketahui, baik ciri-cirinya maupun eksistensinya.
Para pemikir skeptisisme sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, tetapi perintis di dalam filsafat modern, yaitu Rene Descartes.
Unsur-Unsur Skeptis
Sikap skeptis secara garis besar memiliki beberapa unsur, antara lain:
1. Keingintahuan (Curiosity)
Sikap ingin tahu diwujudkan dengan bertanya tentang berbagai hal. Hal tersebut ditandai dengan tingginya minat dan sering mencoba pengalaman-pengalaman baru.
Jika menghadapi suatu masalah yang baru dikenal, maka seseorang akan berusaha untuk mengetahui dan senang mengajukan pertanyaan.
2. Sikap Kritis (Critical Reflection)
Sikap kritis direalisasikan dengan menggali informasi sebanyak-banyaknya, baik dengan bertanya maupun membaca.
Sikap kritis dapat dilihat dari kebiasaan seseorang yang suka merenung dan mengkaji kembali kegiatan yang dilakukan. Seseorang tidak mau begitu saja menerima kesimpulan tanpa ada bukti yang kuat.
Jenis-Jenis Skeptis
Terdapat tiga jenis paham skeptis atau skeptisisme, meliputi:
1. Skeptisisme Argumentatif
Skeptis yang berdasarkan pada argumentasi adalah keraguan yang berasal dari pendapat dan logika.
Faktanya, kaum skeptis argumentatif bisa saja menolak untuk berdiskusi dan lebih memilih diam. Menurut pandangannya, individu tidak mampu menerima pengetahuan dalam arti keyakinan yang benar dan keyakinan yang dibenarkan.
2. Skeptisisme Polemis
Skeptis polemis menyatakan bahwa pembuktian kelemahan individu dalam merealisasikan ilmu pengetahuan yang tidak dapat diargumentasikan.
Pada umumnya, penganut paham skeptis polemis akan bertanya kepada individu yang mengklaim bahwa proposisi P atau hipotesisnya benar. Tipe skeptis tersebut akan terus-menerus bertanya hingga orang yang ditanya kehabisan jawaban.
3. Skeptisisme Metodis
Skeptisisme metodis adalah kombinasi antara tipe keraguan dan kondisi kejiwaan subjek. Kalangan skeptis metodis tidak mempunyai argumentasi yang mandiri, tetapi tidak beradu dengan pandangan orang lain.
Mereka hanya tenggelam dalam keraguan dan tidak mudah percaya terhadap asumsi-asumsi orang lain.
Contoh Skeptis
Berikut beberapa contoh dari sikap skeptis dalam kehidupan sehari-hari:
- Meragukan komposisi bahan pada kemasan makanan.
- Meragukan kemampuan orang lain dalam menyelesaikan sebuah tugas.
- Meragukan iklan dan promosi pemasaran.
- Mempertanyakan reinkarnasi yang dialami manusia setelah meninggal dunia.
- Ketidakyakinan terhadap mitos yang berlaku di tengah masyarakat.
- Mempertanyakan keberadaan surga dan neraka.
- Tidak mempercayai dewa-dewa dan orang-orang sakti.
- Meragukan pengobatan alternatif atau akupuntur.
- Tidak mempercayai alien, segitiga bermuda, atau objek tidak dikenal (UFO).
- Meragukan sejarah manusia yang pernah mendarat di bulan.
Dampak Skeptis
Mengutip Interdisciplinary Journal of Philosophy (2022), sikap skeptis yang ringan berbeda dengan skeptisisme yang radikal atau ekstrem.
Skeptis yang ringan sangat berharga, karena sebagian besar manusia secara alami cenderung bersikap afirmatif dan dogmatis dalam berpendapat, sehingga umumnya melihat objek hanya dari satu sisi dan tidak memiliki argumen lain sebagai penyeimbang.
Sikap skeptis terhadap otoritas politik yang sering kali terwujud dalam bentuk ketidakpercayaan juga dapat mendorong warga negara untuk bertindak. Misalnya, gerakan Hak Sipil Kulit Hitam di Amerika Serikat.
Namun, skeptisisme yang berlebihan juga dapat berdampak negatif secara politik dan sosial. Misalnya, keraguan terhadap penanganan wabah penyakit yang membutuhkan penanganan cepat, justru dapat menyebabkan keterlambatan hingga penularan yang semakin meluas, sehingga jumlah korban terus meningkat.