Perjalanan Sunyi Karbon dari Bumi Indonesia ke Pasar Dunia

1 month ago 45

(Beritadaerah-Kolom) Pagi itu, di tepian Sungai Kapuas, kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan. Dari kejauhan terdengar suara burung rangkong memanggil pasangannya, sementara air sungai memantulkan cahaya keemasan matahari yang baru terbit. Hutan di sini dulunya terancam hilang, tapi kini pohon-pohon muda berdiri dengan gagah. Mereka tumbuh diam-diam, tanpa suara, menyerap karbondioksida yang tak terlihat, dan menyimpannya di batang, daun, dan akar. Mereka adalah pekerja lingkungan paling setia, tak pernah mengeluh, tak pernah menagih upah.

Namun di balik kesunyian ini, ada sebuah perjalanan panjang yang jarang disadari banyak orang. Perjalanan di mana udara bersih, batang pohon, dan lahan gambut bisa berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan lintas benua. Perjalanan yang dimulai dari tanah Indonesia, tapi berakhir di layar komputer seorang pembeli kredit karbon di Eropa, Jepang, atau Amerika. Itulah perjalanan sunyi karbon—perjalanan yang memerlukan sains, aturan, kejujuran, dan kerja sama lintas negara.

Segalanya dimulai dari sebuah prinsip sederhana apa yang bisa diukur, bisa dikelola. Untuk membuat karbon bisa diperdagangkan, kita harus membuktikan bahwa pengurangan emisi benar-benar terjadi. Di sinilah proses Measurement, Reporting, and Verification atau MRV berperan. MRV adalah mata dan telinga sistem perdagangan karbon. Di Kalimantan, para petugas lapangan berjalan menyusuri jalur setapak, membawa alat ukur tinggi pohon dan pita pengukur diameter. Di Sumatera, tim lain memeriksa lahan gambut, mengukur kelembaban tanah untuk memastikan karbon tetap terkunci. Di Nusa Tenggara, panel surya yang memanen cahaya matahari juga diukur dampaknya pada penurunan penggunaan bahan bakar fosil. Semua data ini dikumpulkan dengan teliti.

Tahap pertama adalah measurement—menghitung dengan akurat berapa banyak emisi yang berhasil dikurangi atau diserap. Tahap berikutnya, reporting, adalah menyajikan data itu dalam laporan resmi, lengkap dengan metodologi yang digunakan. Terakhir, verification, dilakukan oleh Lembaga Validasi dan Verifikasi (LVV), yang berperan sebagai auditor independen. LVV datang memeriksa, mencocokkan laporan dengan kenyataan di lapangan, memastikan tidak ada klaim yang dilebih-lebihkan. Seperti wasit yang menjaga permainan tetap adil, mereka memastikan setiap unit karbon lahir dari pengurangan emisi yang nyata.

Setelah proses MRV selesai, proyek bisa mengajukan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca atau SPE. SPE adalah akta kelahiran bagi unit karbon. Tanpa SPE, kredit karbon hanyalah angka yang tak punya nilai hukum. Sertifikat ini menegaskan bahwa pengurangan emisi yang dilakukan proyek tersebut sah, terukur, dan sesuai standar.

Namun, SPE bukan hadiah yang mudah diraih. Ada persyaratan ketat yang harus dipenuhi. Proyek harus memastikan pengurangan emisinya permanen—tidak boleh ada risiko pohon ditebang atau lahan gambut dikeringkan setelah sertifikat keluar. Selain itu, pengurangan emisi tidak boleh menimbulkan masalah baru, seperti mengorbankan hak masyarakat lokal atau merusak ekosistem lain. SPE memastikan bahwa langkah menuju udara bersih tidak dibayar dengan kerusakan di tempat lain.

Begitu SPE diterbitkan, unit karbon itu harus masuk ke Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim atau SRN. SRN adalah buku besar digital Indonesia yang mencatat semua unit karbon yang sah. Ia mencatat siapa pemiliknya, dari proyek mana ia berasal, kapan ia diterbitkan, dan apakah sudah digunakan untuk mengimbangi emisi. Dengan SRN, setiap unit karbon punya “akta identitas” yang membuatnya aman dari pemalsuan atau penjualan ganda.

SRN juga menjadi jendela Indonesia ke dunia. Perusahaan di Eropa atau negara-negara Asia Timur yang ingin membeli kredit karbon dari Indonesia bisa memeriksa catatannya di sini. Mereka tahu dari mana unit karbon itu berasal, siapa yang menghasilkannya, dan bagaimana prosesnya. Kepercayaan ini penting, karena pasar karbon global tidak akan membeli jika tidak ada bukti yang jelas dan terverifikasi.

Proses kelahiran unit karbon juga mengikuti metodologi perhitungan yang ketat. Seperti resep masakan yang menentukan rasa akhir hidangan, metodologi ini menentukan nilai unit karbon di pasar. Pemerintah Indonesia menetapkan berbagai metodologi sesuai jenis proyek—hutan, energi terbarukan, pengelolaan sampah, atau pertanian berkelanjutan. Setiap proyek wajib mematuhi metodologi yang relevan, sehingga hasil perhitungannya konsisten dan bisa dibandingkan dengan standar internasional.

Langkah terakhir untuk membuka pintu dunia adalah Mutual Recognition Agreement atau MRA. Melalui MRA, kredit karbon yang diakui di Indonesia bisa diakui di negara lain, dan sebaliknya. Ini seperti paspor internasional bagi unit karbon—dengan paspor ini, karbon dari hutan Kalimantan bisa dijual di bursa karbon Tokyo, atau kredit dari panel surya di Sumba bisa digunakan untuk memenuhi target emisi perusahaan di Jerman.

Perjalanan ini, dari desa kecil di Kalimantan, dari gambut di Riau, dari ladang angin di Sulawesi, tidak pernah mudah. Ia membutuhkan kerja sama antara petani, nelayan, LSM, perusahaan, pemerintah, ilmuwan, dan lembaga keuangan. Ia membutuhkan transparansi dan kejujuran, karena tanpa itu, seluruh pasar karbon akan runtuh. Tapi di balik kerumitan ini, ada peluang yang luar biasa sumber penghasilan baru bagi masyarakat lokal, cara baru bagi Indonesia menjaga lingkungannya, dan kontribusi nyata terhadap penurunan emisi global.

Bagi masyarakat di hulu Sungai Kapuas, mungkin istilah MRV, SPE, atau MRA terdengar seperti bahasa asing. Tapi mereka melihat hasilnya: hutan yang dulu gundul kini kembali hijau, satwa liar kembali muncul, dan desa mereka mendapat penghasilan tambahan dari menjual karbon yang diserap pepohonan. Bagi nelayan di Sulawesi, turbin angin di tepi pantai bukan hanya simbol kemajuan, tapi juga pintu menuju pasar karbon yang bisa membantu membiayai perbaikan kapal.

Setiap unit karbon yang lahir dari bumi Indonesia adalah cerita tentang kesabaran dan ketekunan. Ia adalah jejak dari tangan-tangan yang menanam, menjaga, dan menghitung. Ia adalah simbol dari udara bersih yang dijaga, bukan hanya untuk kita, tapi untuk dunia. Dan ketika akhirnya ia berpindah tangan—dari desa kecil di Indonesia ke perusahaan besar di luar negeri—ia membawa pesan: bahwa ekonomi dan ekologi bisa berjalan bersama, bahwa perdagangan karbon bukan hanya angka di layar, tapi napas yang lebih lega untuk semua makhluk hidup.

Itulah perjalanan sunyi karbon dari bumi Indonesia ke pasar dunia. Perjalanan yang dimulai dari embun pagi di hutan tropis, melalui proses ilmiah yang teliti, melewati pintu verifikasi yang ketat, tercatat di registri nasional, hingga akhirnya menembus bursa internasional. Perjalanan yang mungkin tak terdengar, tapi dampaknya bisa terasa di seluruh planet.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |