REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan bahwa tanpa adanya Perjanjian Paris 2015, bumi akan mengalami peningkatan hari-hari ekstrem panas selama hampir dua bulan setiap tahun pada akhir abad ini. Dampak terburuk diperkirakan akan menimpa negara-negara miskin, sementara negara penghasil emisi besar relatif lebih terlindungi.
Riset yang dilakukan oleh konsorsium ilmuwan dari World Weather Attribution dan Climate Central menggunakan simulasi komputer untuk memperkirakan seberapa besar pengaruh Perjanjian Paris terhadap gelombang panas global. Tanpa kesepakatan itu, jumlah hari dengan suhu ekstrem diperkirakan akan bertambah 114 hari dibandingkan kondisi saat ini.
Penelitian ini belum melalui proses peer review, namun menggunakan metode yang telah diakui dalam penelitian iklim. Para ilmuwan menghitung berapa banyak hari “superpanas” yang terjadi di lebih dari 200 negara sejak 2015, lalu membandingkannya dengan kondisi iklim saat ini dan dua skenario masa depan.
Dalam skenario pertama, ketika negara-negara memenuhi janji untuk menekan emisi karbon sehingga suhu global naik 2,6 derajat Celsius pada 2100, jumlah hari superpanas akan bertambah 57 hari dibandingkan saat ini. Namun dalam skenario kedua, jika suhu meningkat hingga 4 derajat Celsius, jumlah hari ekstrem panas akan melonjak dua kali lipat.
“Akan tetap ada penderitaan akibat perubahan iklim. Tapi perbedaan antara pemanasan 4 derajat dan 2,6 derajat mencerminkan sepuluh tahun terakhir ambisi manusia yang berhasil menahan laju bencana. Itu hal yang patut disyukuri,” ujar Kristina Dahl, Wakil Presiden Bidang Sains Climate Central, yang juga menjadi salah satu penulis laporan.
Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil bulan depan, laporan ini menjadi pengingat bahwa Perjanjian Paris memang membawa kemajuan, meski langkahnya masih lambat. Hampir 200 negara akan bertemu kembali untuk memperbarui komitmen iklim mereka.
Ilmuwan iklim dari Northern Illinois University, Victor Gensini, menilai hasil penelitian tersebut menyoroti “keberhasilan sekaligus kekurangan” Perjanjian Paris. Studi itu mendefinisikan hari superpanas sebagai hari dengan suhu yang lebih tinggi dari 90 persen hari pada periode 1991–2020. Sejak 2015, dunia mengalami tambahan rata-rata 11 hari superpanas setiap tahun.
“Panas seperti itu membuat orang berakhir di rumah sakit. Panas membunuh orang,” kata Dahl.
Penulis lain dari Imperial College London, Friederike Otto, memperkirakan jumlah korban akibat hari-hari panas ekstrem bisa mencapai puluhan ribu hingga jutaan orang pada dekade-dekade mendatang. “Ribuan orang sudah meninggal setiap tahun akibat gelombang panas,” ujarnya.
Penelitian tersebut juga mencatat bahwa gelombang panas selama sepekan di Eropa Selatan pada 2023 kini 70 persen lebih mungkin terjadi dan 0,6 derajat lebih panas dibandingkan satu dekade lalu. Jika upaya penurunan emisi tidak ditingkatkan, gelombang panas serupa di akhir abad ini bisa 3 derajat lebih panas.
Gelombang panas seperti yang melanda Amerika Serikat bagian barat daya dan Meksiko tahun lalu juga diproyeksikan meningkat hingga 1,7 derajat pada akhir abad ini jika polusi karbon tidak ditekan.
Kristie Ebi, ilmuwan kesehatan lingkungan dari University of Washington yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan temuan tersebut sejalan dengan penelitian lain yang telah ditinjau sejawat. “Ratusan ribu kematian akibat gelombang panas beberapa tahun terakhir dapat dikaitkan langsung dengan perubahan iklim akibat aktivitas manusia,” ujarnya.
Lebih jauh, para ilmuwan menegaskan bahwa beban perubahan iklim tidak terbagi secara adil. Negara-negara miskin akan mengalami peningkatan jumlah hari superpanas jauh lebih besar dibandingkan negara-negara maju yang memperkuat kesenjangan global dalam menghadapi krisis iklim.
sumber : AP

3 hours ago
8











































