TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Ruang Setara (Rasera) Project Aulia Hakim menanggapi peluang pemerintah memangkas produksi nikel pada 2025. Menurut Aulia, rencana pembatasan produksi perlu diapresiasi karena pemerintah memang tidak mampu mengawasi industri nikel dari hulu ke hilir.
Namun, dia menyayangkan alasan di balik rencana pemerintah mengkaji kuota produksi nikel tahun ini. Adapun sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah harus menjaga keseimbangan antara produksi dengan penyerapan agar harga nikel tidak anjlok. “Rencana memangkas kuota produksi nikel untuk mendongkrak harga bukan hal tepat,” kata Aulia kepada Tempo, Senin, 6 Januari 2025.
Aulia mengatakan alasan ini mencerminkan pemerintah tidak menunjukan keperpihakannya kepada sumber daya alam maupun masyarakat. “Pembatasan ini hanya mengakomodasi hasrat di balik persaingan bisnis,” katanya.
Aktivis lingkungan Sulawesi Tengah itu juga mengkritik langkah pemerintah yang selama ini mengeluarkan izin pertambangan nikel tanpa langkah antisipasi yang jelas. Adapun pada 2023, Indonesia memproduksi 1,8 juta ton nikel atau mencakup 50 persen dari total penambangan niklel dunia. Menurut dia, pemerintah jor-joran mengeluarkan izin pertambangan lantaran masih memiliki cadangan nikel 55 juta ton atau 42,32 persen dari total cadangan nikel dunia.
Masifnya penambangan nikel, kata Aulia, berdampak pada lingkungan. Di Morowali, Sulawesi Tengah, misalnya, Aulia mengatakan ada areal tambang nikel mencapai 92.604 hektare dan ada ssetidaknya 37 perusahaan yang mengantongi izin usa pertambangan (IUP). Angka ini yang tercatat hingga 2021 lalu. “Dengan jumlah tambang yang semakin banyak, produksi juga semakin banyak. Tapi semakin banyak juga hutan dan lahan yang harus dikorbankan,” kata Aulia.
Hal itu pun akan berdampak pada timbulnya bencana ekologi, seperti banjir dan tanah longsor. Bahkan, Aulia berujar, banjir sudah menjadi langganan di kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, termasuk di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Adapun pada akhir 2024 hingga awal 2025 ini, banjir dilaporkan terjadi di Desa Labota, Kecamatan Bahodopi.
Oleh karena itu, pembatasan produksi nikel memang perlu dipertimbangkan. Hanya saja, menurut Aulia, pemerintah mesti menggunakan alasan yang menjawab persoalan di lapangan. Ia berujar, pertimbangan masalah harga untuk memangkas produksi nikel adalah pertimbangan yang terlalu eksklusif tanpa berdasarkan tinjauan fakta di lapangan. “Skema-skema, seperti pemangkasan produksi, akan lebih baik dengan kajian yang lebih partisipatif. Jadi, tidak hanya mengandalkan kemauan para pebisnis multinasional,” kata Aulia.
Meski tidak secara gamblang akan mengurangi kuota produksi nikel, Bahlil Lahadalia mengatakan banyaknya rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) perusahaan nikel tidak menjamin dampak baik. Malah, kata dia, bila kuota produksi semakin banyak maka harga nikel bisa jauh. Ketua Umum Partai Golkar itu berkaca pada hukum permintaan dan penawaran. Walhasil, anjloknya harga bakal berdampak kerugian bagi pengusaha tambang nikel. “Jadi, jangan jor-joran. Yang paling bagus itu RKAB banyak, harga bagus,” kata Bahlil di Kementerian ESDM, Jumat, 3 Januari 2025.
Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Mengapa Pemerintah Perpanjang Bantuan Pangan jadi 6 Bulan saat Proyeksi Produksi Beras Naik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini