TEMPO.CO, Jakarta - Kasus korupsi tata kelola minyak di Pertamina diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 193,7 triliun. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memberikan komentarnya saat ditemui di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, pada Sabtu, 1 Maret 2025.
Adapun beberapa poin dalam pernyataan Erick Thohir adalah sebagai berikut:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
1. Perbaikan Total pada Pertamina
Erick Thohir menyebut jika akan ada review total pada perusahaan yang bergerak di sektor energi tersebut. Ia ingin mengikutsertakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dipimpin oleh Bahlil Lahadalia serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas.
“Kami harus beri solusi. Seperti yang Pak Presiden selalu bilang, antara menteri ini berkomunikasi,” ujarnya.
2. Menghormati Proses Hukum
Proses yang sedang berjalan di Kejaksaan Agung (Kejagung) turut menjadi poin penting dalam pernyataan Erick Thohir. Ia menghormati proses tersebut seperti saat kasus Jiwasraya dan Garuda. Erick kemudian mengaku akan turut membantu jalannya proses penyelidikan yang dilakukan oleh Kejagung.
3. Hadirnya Danantara sebagai Peningkatan Kualitas Investasi
Ia mempercayai, jika perbaikan BUMN, terkhusus Pertamina, akan semakin baik karena proses investasi dan operasional akan semakin mudah. Erick Thohir menyampaikan jika hal itu disebabkan karena adanya Danantara.
“Dahulu investasi BUMN tidak pernah didiskusikan karena saya tidak punya power itu. Bukan membela diri ya. Tapi nanti semua usulan investasi atau operasional yang membutuhkan dana besar akan ada komite investasinya, itu adalah hal bagus,” ujarnya.
4. Akan Menindak bila Ditemukan Blending Oplosan dalam Bahan Bakar Minyak
Menteri BUMN tersebut mengaku telah melakukan rapat dengan Kejagung terkait blending oplosan di BBM. Erick Thohir tidak mau berasumsi lebih jauh, namun apabila ditemukan, ia akan melakukan penindakan.
Kejaksaan Agung sebelumnya mengungkap kronologi dugaan kasus korupsi terkait pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, termasuk Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam periode 2018-2023. Kasus ini melibatkan direksi anak perusahaan Pertamina serta pihak swasta.
Kasus korupsi ini melibatkan tujuh tersangka yang terdiri dari jajaran direksi anak perusahaan Pertamina serta pihak swasta. Beberapa di antaranya adalah Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS); Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Sani Dinar Saifuddin (SDS); Direktur PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YK); serta Vice President Feedstock Management PT KPI, Agus Purwono (AP).
Sementara itu, tersangka yang berperan sebagai broker minyak mentah antara lain Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR), selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati (DW), yang menjabat sebagai Komisaris PT Navigator Khatulistiwa serta Komisaris PT Jenggala Maritim; serta Gading Ramadan Joede (GRJ), yang merupakan Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar mengatakan bahwa kasus ini berlangsung pada periode 2018–2023, ketika peraturan mewajibkan pemenuhan minyak mentah dalam negeri dengan mengutamakan pasokan dari sumber domestik. PT Pertamina (Persero) juga diwajibkan untuk mencari pasokan minyak dari kontraktor dalam negeri terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan impor minyak bumi.
Namun, menurut Qohar, tersangka RS, SDS, dan AP melakukan rekayasa dalam rapat optimalisasi hilir, yang digunakan sebagai dasar untuk menurunkan produksi kilang. Akibatnya, minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya, sehingga pemenuhan kebutuhan minyak mentah dan produk kilang bergantung pada impor.
Ia mengungkapkan bahwa dalam proses pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional serta produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, ditemukan bukti adanya kolusi antara pihak subholding Pertamina selaku penyelenggara negara dengan para broker.
Riri Rahayu dan Raden Putri Alpadillah Ginanjar ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.