Prabowo Punya Target Bangun PLTS 100 GW, Ini Tantangannya Kata Peneliti

3 hours ago 10

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hingga 100 gigawatt (GW) dinilai berpotensi mempercepat transisi energi nasional, tetapi masih menyisakan persoalan regulasi dan tata kelola. Pakar menilai tanpa kerangka kebijakan yang jelas dan sistem kelistrikan yang siap, target ambisius tersebut berisiko sulit direalisasikan.

Peneliti Yayasan CERAH Dewi Wulan Ramadani mengatakan, rencana pembangunan PLTS 1 megawatt (MW) di setiap desa dengan melibatkan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) membuka peluang perluasan energi bersih. Namun, hingga akhir 2025, blueprint proyek tersebut belum dipublikasikan secara rinci meski pemerintah menyebutnya telah memasuki tahap finalisasi.

“Tapi sampai sekarang kita belum tahu finalnya seperti apa. Blueprint-nya belum dijelaskan,” ujar Dewi dalam diskusi Menakar Kelayakan PLTS 100 GW: Analisis Teknis, Finansial, dan Institusional, Jumat (12/12/2025).

Dewi menyoroti ketidaksinkronan kebijakan energi nasional yang dinilai mengaburkan arah transisi. Target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 dalam Kebijakan Energi Nasional direvisi menjadi kisaran 19–23 persen, sementara pemerintah masih membuka peluang pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru untuk kawasan industri tertentu.

Selain itu, pembatalan rencana pensiun dini PLTU Cirebon-1 dinilai memperkuat keraguan publik terhadap konsistensi komitmen transisi energi.

Di sisi lain, permintaan listrik diproyeksikan terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi, meski konsumsi listrik per kapita Indonesia masih tergolong rendah di Asia Tenggara.

Kapasitas terpasang PLTS nasional juga masih tertinggal jauh dari target jangka panjang. Saat ini kapasitas PLTS berada di bawah 1 GW, sementara dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru, target PLTS baru mencapai 17 GW pada 2034, meninggalkan selisih besar dengan target 100 GW.

Dewi menyebut pembangunan PLTS di desa sebenarnya bukan hal baru. “Jadi sebenarnya pembangunan PLTS di daerah-daerah itu bukan hal yang baru ya, pemerintah sendiri sudah pernah melakukan proyek-proyek pembangunan PLTS di berbagai daerah, khususnya di daerah terpencil yang belum ada akses,” kata Dewi.

Berdasarkan data periode 2011–2015, sekitar 500 PLTS telah dibangun dengan pendanaan dari berbagai sumber, mulai dari dana alokasi khusus hingga hibah tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR). Namun, sebagian proyek menghadapi kendala teknis dan keberlanjutan, seperti pasokan listrik tidak stabil dan ketiadaan dana pemeliharaan.

Dewi menilai setidaknya ada tiga isu utama dalam rencana PLTS 100 GW. Pertama, aspek kelembagaan karena Koperasi Desa Merah Putih belum memiliki payung hukum yang jelas, berbeda dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang telah diatur dalam peraturan pemerintah.

Kedua, kelayakan finansial proyek. Biaya pembangunan 1 MW PLTS diperkirakan mencapai 900 ribu dolar AS atau sekitar Rp14–15 miliar, sementara kapasitas fiskal desa relatif terbatas dan proyek tanpa perjanjian jual beli listrik jangka panjang (Power Purchase Agreement/PPA) dinilai sulit memperoleh pembiayaan perbankan.

Ketiga, kesiapan infrastruktur listrik dan teknologi penyimpanan energi. Dewi menekankan perlunya kejelasan skema interkoneksi, mengingat kebutuhan listrik setiap desa berbeda dan regulasi saat ini belum memungkinkan jual beli listrik langsung tanpa melalui PT PLN (Persero).

Untuk menekan risiko, Dewi merekomendasikan penerapan model energy as a service, di mana kontraktor menjadi pemilik aset dan pengelola teknis, sementara koperasi desa fokus pada layanan listrik. Ia juga mengusulkan pengelompokan proyek agar lebih layak dibiayai, pembentukan dana cadangan nasional, serta penetapan tarif listrik desa dan skema PPA khusus.

“Rencana besar harus disertai perencanaan yang baik dan kebijakan yang jelas. Kalau ingin 100 GW PLTS tercapai, kita harus memastikan tata kelola, pendanaan, dan sistem kelistrikannya siap,” ujar Dewi.

Sementara itu, Climate Program Manager Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Kiara Putri Mulia mengingatkan agar pemerintah tidak semata mengejar target kapasitas. Menurutnya, kemampuan sistem ketenagalistrikan menyerap energi terbarukan menjadi faktor kunci keberhasilan.

Kiara mencontohkan India dan Vietnam yang berhasil meningkatkan kapasitas PLTS secara cepat melalui reformasi kebijakan dan kelembagaan. “India memiliki kementerian khusus yang menangani new and renewable energy, ada juga BUMN khusus, artinya butuh entitas yang men-deliver target-target ini. Vietnam mereformasi sistem ketenagalistrikannya dari yang tadinya state control dengan membukanya menjadi feed in tariff,” kata Kiara.

Ia menilai target 100 GW PLTS dapat menjadi momentum transformasi sistem energi nasional jika disertai reformasi kebijakan yang konsisten. “Dalam kaitannya dengan Indonesia, target 100 GW ini bisa menjadi transformasi sistem energi kita jadi lebih bersih dan bisa menciptakan kesejahteraan,” ujar Kiara.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |