TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto untuk membatalkan penetapannya sebagai tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus kasus suap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. "Hakim berpendapat bahwa permohonan praperadilan dari pemohon dinyatakan tidak dapat diterima," ujar hakim Djuyamto saat membacakan putusan praperdilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, 13 Februari 2025.
Dilansir dari Antara, Djuyamto menyatakan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh Hasto Kristiyanto ditolak sepenuhnya. Dengan demikian, status tersangka Hasto tetap berlaku dan dinyatakan sah. Keputusan hakim ini sejalan dengan permintaan KPK, yang menghendaki agar status tersangka Hasto dalam kasus dugaan suap PAW DPR periode 2019-2024 terkait Harun Masiku tetap sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikut rangkuman informasi selengkapnya mengenai profil Djuyamto, hakim PN Jakarta Selatan yang putuskan untuk tolak praperadilan Hasto Kristiyanto.
Profil Djuyamto
Berdasarkan informasi dari laman resmi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Djuyamto merupakan Hakim Tingkat Pertama yang bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dia lahir di Sukoharjo pada 18 Desember 1967.
Djuyamto adalah lulusan sarjana dari Universitas Sebelas Maret Solo (UNS) jurusan Ilmu Hukum pada 1992. Djuyamto mendapatkan gelar masternya pada 2020 di bidang Ilmu Hukum dari almamater yang sama, UNS.
Dilansir dari Bhayangkaraperdananews, baru-baru ini Djuyamto juga berhasil meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Solo (FH UNS). Dia melaksanakan sidang promosi Doktornya pada 31 Januari 2025 lalu dengan disertasi yang berjudul ‘Model Pengaturan Penetapan Tersangka oleh Hakim Pada Tindak Pidana Korupsi Berbasis Hukum Responsif.’
Dalam disertasinya, Djuyamto mengusulkan bahwa Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk menetapkan seorang saksi sebagai tersangka apabila dalam persidangan terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Dilansir dari situs resmi PN Jakarta Selatan, Djuyamto adalah hakim dengan pangkat Pembina Utama Madya atau golongan ASN IV/d. Ia juga mengemban amanah sebagai pejabat Humas di PN Jakarta Selatan.
Penegak hukum berusia 57 tahun itu memulai kariernya di Pengadilan Negeri Tanjungpandan pada 2002. Dia juga pernah ditugaskan di Pengadilan Negeri Temanggung dan Pengadilan Negeri Karawang hingga 2012.
Berdasarkan laman Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karier Djuyamto semakin bersinar saat menjadi Hakim Yustisial dan Panitera Pengganti di Mahkamah Agung pada 2013. Dia lalu menjadi hakim dan Ketua Pengadilan Negeri Dompu di Nusa Tenggara Barat pada 2016.
Djuyamto kemudian dimutasi ke Pengadilan Tinggi Bandung pada 2018. Setahun kemudian, dia menjadi hakim di Pengadilan Negeri Jakarta dari 2019 hingga saat ini. Berdasarkan catatan LHKPN pada 30 Januari 2024, Djuyamto memiliki harta kekayaan sebesar Rp 2.955.100.000 atau Rp 2,9 miliar.
Hakim itu memiliki tiga aset berupa tanah dan bangunan yang tersebar di Karanganyar dan Sukoharjo senilai Rp 2.450.000.000 atau Rp 2,45 miliar. Dia juga memiliki tiga kendaraan senilai Rp 454.000.000, yang meliputi mobil Toyota Innova Reborn, motor Vespa, dan motor honda beat.
Djuyamto juga mempunyai harta kas dan setara kas sebesar Rp 145 juta, harta bergerak lainnya Rp 96,1 juta, dan harta lainnya Rp 60 juta. Total kekayaannya sebenarnya sebesar Rp 3.205.100.000 atau Rp 3,2 miliar. Namun, Djuyamto memiliki utang sebesar Rp 250 juta, sehingga harta kekayaan bersihnya adalah Rp 2.955.100.000 atau Rp 2,95 miliar.
Jihan Ristiyani dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.