PT Pontianak Vonis Bebas WNA Cina yang Rugikan Indonesia Rp 1.020 Triliun, Bakal Mirip Kasus Ronald Tanur?

5 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak memvonis bebas warga negara asing atau WNA Cina, Yu Hao, yang merugikan Indonesia sebesar Rp 1,020 triliun lewat tambang emas Ilegal. Pengadilan banding yang digawangi hakim Isnur Syamsul Arif, Eko Budi Supriyanto, dan Pransis Sinaga itu menyatakan terdakwa tak terbukti bersalah.

“Menyatakan terdakwa Yu Hao tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penambangan tanpa ijin sebagaimana dalam dakwaan tunggal penuntut umum,” bunyi putusan majelis hakim yang dibacakan pada Senin, 13 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di meja hijau Pengadilan Negeri (PN) Ketapang, Jaksa Penuntut Umum atau JPU mendakwa Yu Hao telah melakukan kegiatan penambangan tanpa izin dalam periode Februari 2024 – Mei 2024. Jaksa menuntutnya atas pelanggaran Pasal 158 UU No 3 Tahun 2009 dengan pidana penjara 5 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar.

Di pengadilan tingkat pertama itu, PN Ketapang lalu memvonis Yu Hao berupa pidana 3,6 tahun penjara dan denda Rp 30 miliar. Namun, kendati hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU, warga Cina tidak terima. Dia lalu mengajukan banding hingga akhirnya divonis bebas.

Vonis bebas kasus Yu Hao ini mengingatkan pada perkara pembunuhan Dini Sera Afrianti (29 tahun) oleh pacarnya Gregorius Ronald Tanur (30 tahun) yang terjadi pada awal Oktober 2023 lalu. Meski terbukti bersalah, Hakim PN Surabaya, Jawa Timur, justru menjatuhkan vonis bebas terhadap putra bekas anggota DPR Itu.

Setelah diusut, kejanggalan putusan itu ternyata ada sebabnya. Ada aliran duit panas kepada para hakim yang menangani kasus ini. Suap itu diberikan oleh ibu Ronald, Meirizka Widjaja agar para hakim membuat putusan membebaskan terdakwa dari jeratan hukum. Bahkan suap nyaris mengalir hingga tingkat kasasi.

Kilas balik vonis bebas kasus Ronald Tanur

Kasus penganiayaan yang menewaskan Dini oleh Ronald Tanur itu terjadi di kawasan Lenmarc Mall di Jalan Mayjen Jonosewejo, Lakarsantri, Surabaya, pada 4 Oktober 2023. Perkara terungkap setelah pelaku melaporkan tewasnya korban ke Kepolisian Sektor Lakarsantri.

Dari hasil pendalaman perkara, korban dan pelaku sempat berkaraoke sambil menenggak miras bersama rekan-rekannya. Saat hendak pulang, sejoli itu sempat bertengkar. Pelaku menendang kaki kanan korban hingga jatuh terduduk. Dia juga memukul kepala korban dua kali menggunakan botol miras.

Sesampainya di basement parkiran, pertengkaran belum usai. Korban duduk bersandar di pintu kendaraan sebelah kiri. Tanpa menghiraukan korban, pelaku lalu memasuki mobil di posisi kemudi. Mobil pun dijalankan belok ke kanan sehingga mengakibatkan sebagian tubuh korban terlindas. Korban sempat terseret sejauh 5 meter.

Korban yang dalam keadaan lemas selanjutnya dibawa ke apartemen Tanglin Orchard PTC. Ronald lalu mencoba memberikan napas buatan sambil menekan dada korban. Karena tidak ada respon, korban pun dibawa ke Rumah Sakit National Hospital untuk dilakukan tindakan medis. Namun, nyawanya tak tertolong.

Singkat cerita, Ronald lalu menjalani sidang perdana di PN Surabaya pada Selasa, 19 Maret 2024. Dalam perkara ini, ia didakwa melakukan pembunuhan dan penganiayaan terhadap Dini. Dalam dakwaan yang dibacakan JPU dari Kejaksaan Negeri Surabaya, Ronald Tannur dengan pasal pembunuhan dan penganiayaan.

Berdasarkan pasal yang dijeratkan kepada terdakwa, yaitu Pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP atau ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP, JPU menuntut Ronald dijatuhi pidana 12 tahun penjara dan membayar restitusi bagi keluarga korban Rp 263,6 juta.

Namun, hakim PN Surabaya ternyata menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa Ronald. Ketua Majelis Hakim Erintuah Damanik serta hakim anggota Heru Hanindyo dan Mangapul menyatakan, terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan korban tewas.

“Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dalam dakwaan pertama pasal 338 KUHP atau kedua Pasal 351 ayat (3) KUHP Atau ketiga Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP,” kata Erintuah, Rabu, 24 Juli 2024, seperti dilansir dari Antara.

Hakim menilai terdakwa masih berupaya melakukan pertolongan terhadap korban pada masa kritis. Terdakwa disebut sempat membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Hakim memerintahkan jaksa penuntut umum segera membebaskan terdakwa dari tahanan segera setelah putusan dibacakan.

“Membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa penuntut umum,” kata Erintuah.

Publik jelas heran dan geram terhadap putusan tak masuk akal itu. Usut punya usut, para hakim ternyata tercemar duit suap. Mereka diduga digelontori uang panas untuk membuat putusan membebaskan terdakwa dari jeratan hukum. Eriuntah dkk kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 23 Oktober 2024.

Selain para wakil Tuhan, kuasa hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat juga ditetapkan sebagai tersangka. Pengacara tersebut diduga menjadi perantara suap untuk diberikan kepada para hakim. Lantas siapa pemberi suapnya? Berdasarkan temuan Kejagung, dia adalah ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja.

Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Abdul Qohar mengatakan Meirizka terbukti telah bersekongkol dengan Lisa untuk menyuap para hakim. Setahun sebelumnya, setelah terungkapnya kasus Ronald Tannur, Lisa awalnya diminta Meirizka untuk menjadi pengacara bagi anaknya.

Di kemudian hari, Lisa lantas menjadi tangan kanan Meirizka sebagai penyambung duit rasuah. Keduanya kembali bertemu di kantor Lisa pada 6 Oktober 2023. Kala itu Lisa menyampaikan ke Meirizka ada hal-hal yang perlu dibiayai dalam mengurus perkara Ronald dan langkah yang akan ditempuh.

Setelah terjadi kesepakatan antara keduanya, Meirizka kemudian memberikan uang permulaan senilai Rp 1,5 miliar kepada Lisa. Pengacara itu lalu mengurus semua proses hukum untuk meloloskan Ronald Tannur dari hukuman. Adapun uang haram ini digelontorkan secara bertahap selama proses penanganan kasus.

“LR juga kerap menalangi sebagian pengurusan perkara trrsebut sampai putusan di Pengadilan Negeri Surabaya sejumlah Rp 2 miliar. Jadi total Rp 3,5 miliar,” kata Dirdik Jampidsus.

Belakangan, kasus suap vonis putusan bebas Ronald Tannur juga menjerat mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar. Dirdik Jampidsus Abdul Qohar, mengatakan Zarof ditetapkan sebagai tersangka lantaran perannya sebagai penghubung antara pengacara Ronald dan hakim agung untuk urusan kasasi.

“Pengacara Ronald meminta Zarof agar melobi hakim agung agar menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya. Diberikan fee Rp 1 miliar atas jasanya itu,” katanya.

Adapun terkait vonis bebas oleh PN Surabaya terhadap kasus Ronald, JPU telah mengajukan permohonan kasasi yang kemudian dikabulkan Mahkamah Agung pada Rabu, 23 Oktober 2024. Dengan adanya putusan tersebut, vonis bebas Ronald Tanur batal. Kejagung juga kembali menangkap Ronald pada Ahad siang, 27 Oktober 2024.

Vonis bebas Yu Hao disorot, berpotensi langgar etik

Putusan vonis bebas kasus Yu Hai kini juga mendapat sorotan. Atensi salah satunya datang dari Komisi Yudisial (KY). Anggota sekaligus juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, mengatakan KY mempersilakan masyarakat untuk melapor kejanggalan vonis PT Pontianak terhadap Yu Hao. Pihaknya akan mendalami kasus tersebut.

“Untuk melaporkan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) majelis hakim yang menangani perkara ini beserta bukti pendukung,” kata Mukti lewat keterangan tertulis, Jumat, 17 Januari 2025.

Menurut Mukti, laporan dari masyarakat akan direspons KY sesuai dengan prosedur yang berlaku. Tindak lanjut yang dilakukan KY akan berfokus pada kesimpulan ada tidaknya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim tinggi pada PT Pontianak.

“Publik dapat melaporkan apabila ada dugaan pelanggaran kode etik hakim disertai dengan bukti pendukung, sehingga nantinya laporan tersebut dapat ditindaklanjuti oleh KY sesuai prosedur yang ada,” kata Mukti.

Adapun kasus tambang emas ilegal Yu Hao terungkap setelah Tim Penyidik PNS (PPNS) Ditjen Minerba menemukan aktivitas penambangan ilegal di area IUP milik PT BRT dan PT SPM yang tengah dalam masa pemeliharaan. Kala itu, Ditjen Minerba bersama Bareskrim Polri menangkap Yu Hao.

“PPNS Minerba didampingi Korwas PPNS Bareskrim Polri menemukan adanya pemanfaatan tunnel yang saat ini statusnya dalam pemeliharaan dan tak memiliki izin operasi produksi,” kata Direktur Teknik dan Lingkungan Ditjen Minerba Sunindyo Suryoherdadi di kantornya, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu, 11 Mei 2024.

Pada kegiatan yang ada di tambang emas ilegal tersebut, kata dia, WNA Cina itu melakukan produksi yaitu pengambilan bijih emas di lokasi termasuk mengolah dan memurnikan yang dilakukan di terowongan. Hasil pekerjaan pemurnian di tunnel dibawa ke luar lubang dalam bentuk dore/bullion emas.

“Temuan sementara, lubang tambang emas ilegal dengan total panjang 1.648,3 meter dengan volume hitungan sementara 4.467,3 meter persegi,” katanya.

Adapun Yu Hao diduga mengkoordinir lebih dari 80 Tenaga Kerja Asing (TKA) China dalam operasi tambang ilegal tersebut. Modusnya adalah memanfaatkan tunnel yang seharusnya dalam masa pemeliharaan untuk melakukan penambangan aktif, termasuk penggunaan bahan peledak dan pemurnian emas di lokasi.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM mencatat kerugian negara mencapai Rp 1,020 triliun dari hilangnya cadangan emas sebanyak 774,27 kilogram dan perak 937,7 kilogram akibat pertambangan ilegal itu. Hasil uji sampel menunjukkan kandungan emas yang sangat tinggi, mencapai 337 gram per ton pada sampel batu tergiling.

Krisna Pradipta, Dinda Shabrina, Novandy Ananta, Ervana Trikarinaputri, Andika Dwi, Jihan Ristiyanti dan Bagus Pribadi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |