SLEMAN, JOGLOSEMARNEWS.COM — Puluhan dapur penyedia makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Sleman ternyata belum mengantongi Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS), meski sebagian besar sudah beroperasi melayani ribuan pelajar setiap hari.
Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Sleman mencatat, dari total 92 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah itu, 62 di antaranya sudah aktif memproduksi makanan. Namun, hingga awal Oktober ini, belum satu pun yang mengajukan permohonan sertifikasi laik higiene dan sanitasi sebagaimana diwajibkan oleh Kementerian Kesehatan.
“Asal belum ada yang masuk (mengurus sertifikat SLHS). Tapi sudah kami ingatkan agar segera mengurus izin, termasuk untuk bangunan baru yang perlu PBG,” ujar Wakil Ketua Satgas Percepatan Program MBG Pemkab Sleman, Agung Armawanta, Selasa (7/10/2025).
Agung menambahkan, pemerintah daerah sejatinya telah berulang kali mengimbau agar dapur-dapur MBG memenuhi syarat teknis higienitas. Dinkes Sleman juga telah menawarkan pendampingan dan sosialisasi kepada pengelola SPPG agar bisa memahami prosedur pengajuan sertifikasi. Namun, hingga kini belum ada satupun yang benar-benar berproses.
“Semoga ke depan pengelola SPPG bisa memenuhi standar operasional programnya sendiri. Ini penting demi menjaga keselamatan anak-anak penerima manfaat,” kata Agung.
Kepala Bidang Sumber Daya Kesehatan Dinkes Sleman, Tunggul Birowo, membenarkan belum adanya satu pun SPPG di Sleman yang mengantongi sertifikasi resmi. Ia menilai lemahnya koordinasi menjadi salah satu kendala utama di lapangan.
“Sejak awal banyak SPPG langsung berkoordinasi dengan Badan Gizi Nasional (BGN) tanpa melibatkan pemerintah daerah. Tiba-tiba sudah banyak dapur bermunculan dan langsung beroperasi,” ujarnya.
Menurut Tunggul, proses sertifikasi laik higiene dan sanitasi sebenarnya mencakup sejumlah tahapan penting. Mulai dari kepemilikan Nomor Induk Berusaha (NIB) dengan KBLI bidang jasa boga, pelatihan higienitas bagi minimal 50 persen tenaga penjamah makanan, hingga pemeriksaan laboratorium terhadap air, makanan, dan peralatan dapur.
“Setelah administrasi lengkap, Dinkes baru melakukan inspeksi lapangan. Skor minimal kelayakan untuk lulus sertifikasi itu 80,” jelasnya.
Kondisi ini menjadi perhatian serius setelah beberapa kali muncul dugaan kasus keracunan massal pada peserta program MBG di wilayah Sleman. Pemerintah daerah kini berupaya melakukan pendampingan langsung untuk mempercepat proses sertifikasi agar tidak terjadi lagi kasus serupa.
Sementara itu, Peneliti Gizi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Merita Arini, menilai maraknya kasus keracunan pada program MBG di berbagai daerah merupakan alarm keras bagi pemerintah.
“Tingginya kasus keracunan, yang secara nasional dilaporkan mencapai lebih dari 6.000 orang, menunjukkan masih banyak aspek yang belum siap. Mulai dari pengawasan bahan baku, higienitas dapur, hingga distribusi makanan,” ujarnya.
Merita menjelaskan, kontaminasi makanan bisa berasal dari berbagai sumber, baik mikroba, toksin alami, maupun bahan pangan yang tidak segar. Produk hewani seperti ikan atau daging yang disimpan terlalu lama, kata dia, berisiko menghasilkan zat beracun seperti histamin yang bisa memicu keracunan.
Ia pun mendorong agar rantai pengadaan makanan program MBG diperketat — mulai dari pemilihan bahan segar, pengolahan higienis, hingga sistem distribusi yang cepat dan tidak berbelit.
“Jika makanan terlalu lama dalam perjalanan, risiko kontaminasi semakin tinggi. Ini harus jadi perhatian serius semua pihak,” tegasnya.
Pemerintah pusat sebelumnya telah mengeluarkan Surat Edaran Kemenkes Nomor HK.02.02/C.I/4202/2025 tentang percepatan penerbitan sertifikat laik higiene dan sanitasi bagi seluruh dapur MBG. Namun, di lapangan, implementasi kebijakan tersebut masih jauh dari harapan.
Tanpa sertifikasi, dapur MBG di Sleman dianggap belum memenuhi standar keamanan pangan, sehingga berpotensi menimbulkan risiko bagi kesehatan siswa penerima makanan program tersebut. [*] Disarikan dari sumber berita media daring
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.