TEMPO.CO, Jakarta - Putra presiden Suriah yang terguling, Bashar al-Assad, telah mengkonfirmasi bahwa postingan yang merinci malam terakhirnya dan keluarganya di Damaskus sebelum rezim tersebut digulingkan ditulis olehnya, The New Arab melaporkan.
Hafez Bashar al-Assad – dinamai seperti nama kakeknya yang juga memerintah Suriah sebelum kematiannya pada 2000 – menanggapi spekulasi mengenai apakah unggahan panjang di media sosial tersebut berasal dari akun palsu atau benar-benar miliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ada beberapa pertanyaan mengenai apakah akun-akun di X dan Telegram itu milik saya, jadi saya ingin mengonfirmasi bahwa akun-akun tersebut adalah milik saya, dan saya tidak memiliki akun-akun lain atau platform [media sosial] lainnya," ujarnya dalam sebuah video berdurasi 10 detik yang disebarkan secara online, saat ia terlihat berjalan di sebuah lingkungan di Moskow, tempat ia dan keluarganya saat ini tinggal.
Akunnya di X telah ditangguhkan, tetapi ia tetap memiliki akun Telegram.
Runtuhnya rezim Assad
Rezim Assad runtuh pada dini hari 8 Desember ketika para pemberontak memasuki ibu kota Suriah setelah serangan ringan pemberontak yang telah dimulai seminggu sebelumnya, setelah merebut kota-kota utama termasuk Homs dan Hama dalam beberapa hari.
Assad, istrinya Asmaa, putra-putranya Karim dan Hafez, serta putrinya Zein melarikan diri ke Rusia, yang telah membantu menopang rezim tersebut selama konflik brutal dan multi-segi yang meletus pada 2011 setelah pasukan pemerintah dengan kejam menindas protes demokrasi.
Dalam postingannya yang telah menciptakan banyak perbincangan di dunia maya, Hafez, 23 tahun, mengatakan bahwa "tidak ada rencana" untuk meninggalkan Damaskus, apalagi Suriah, ketika rezim Baath jatuh.
"Selama 14 tahun terakhir, Suriah telah melalui situasi yang tidak kalah sulit dan berbahaya dibandingkan dengan yang dialaminya pada akhir November dan awal Desember lalu," tulisnya, mengacu pada serangan pemberontak yang dipimpin oleh kelompok Hayat Tahrir-al Sham (HTS), yang telah bertahun-tahun membangun semi-otonomi di wilayah barat laut Idlib.
"Siapa pun yang ingin melarikan diri, melarikan diri selama [perang] itu, terutama selama tahun-tahun awal ketika Damaskus hampir dikepung dan dibom setiap hari, dan para teroris [pemberontak] berada di pinggiran kota, dan kemungkinan kedatangan mereka ke jantung ibukota sangat mungkin terjadi selama periode itu," ia menambahkan.
Rezim Assad telah lama melabeli kelompok-kelompok pemberontak dan faksi-faksi oposisi sebagai "teroris".
Perjalanan ke Moskow
Hafez mengatakan bahwa ia melakukan perjalanan ke Moskow pada 20 November untuk tesis doktoralnya. Ia menyebutkan bahwa ibunya, Asmaa – yang didiagnosis menderita leukemia awal tahun lalu – juga berada di ibu kota Rusia pada saat itu untuk menjalani perawatan. Pada 1 Desember, ia kembali bersama ayah dan saudara laki-lakinya, sementara saudara perempuannya bersama ibunya di Moskow.
"Pada Sabtu pagi, saudara laki-laki saya mengikuti ujian matematika di Institut Tinggi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terapan di Damaskus, tempat dia belajar, dan dia bersiap untuk kembali bekerja keesokan harinya, dan saudara perempuan saya telah memesan tiket untuk kembali ke Damaskus dengan menggunakan maskapai Syrian Airlines pada keesokan harinya, yaitu hari Minggu," tulis Hafez, merujuk pada tanggal 7-8 Desember saat para pemberontak mendekati Damaskus dan akan menyerbu kota tersebut.
"Pada Sabtu sore, rumor menyebar bahwa kami telah melarikan diri ke luar negeri, dan sejumlah orang menelepon saya untuk mengonfirmasi bahwa kami berada di Damaskus," tulis Hafez. Untuk meredakan rumor tersebut, ia mengunggah foto dirinya di sebuah taman dekat istana kepresidenan di kawasan Al-Muhajireen Damaskus, ke akun Instagram pribadinya, yang kini sudah ditutup.
Dia mengatakan bahwa meskipun mendengar suara tembakan di kejauhan, tidak ada yang aneh yang tidak biasa dia dan keluarganya alami sejak awal perang.
Dia menambahkan bahwa tidak ada tanda-tanda bahwa situasi memburuk sampai mereka menerima laporan tentang penarikan tentara rezim secara "tiba-tiba" dari Homs, kota terbesar ketiga di Suriah yang terletak di rute utama yang menghubungkan Damaskus ke Suriah utara.
"Namun tidak ada persiapan atau hal lain yang menunjukkan keberangkatan kami [dari Damaskus] hingga seorang pejabat Rusia tiba di rumah kami di lingkungan Al-Maliki setelah tengah malam, yaitu pada Minggu pagi [8 Desember], dan meminta presiden untuk pindah ke Latakia selama beberapa hari karena situasi yang serius di Damaskus," Hafez melanjutkan.
Menurut Hafez, pejabat Rusia itu mengatakan kepada Assad bahwa mantan presiden itu mungkin dapat mengawasi komando pertempuran antara pasukan rezim dan pemberontak dari Latakia, sebuah wilayah pesisir dan benteng pertahanan Assad di mana Rusia memiliki pasukan yang ditempatkan di pangkalan udara Hmeimim.
Hafez mengatakan bahwa dia adalah orang yang menghubungi sepupunya beberapa kali untuk memberi tahu mereka bahwa mereka telah diminta untuk meninggalkan Damaskus, dan menambahkan bahwa staf yang bekerja di rumah keluarganya telah pergi ke "lokasi yang tidak diketahui".
Pemberontak memasuki Damaskus
Diyakin Assad meninggalkan Suriah tanpa memberi tahu anggota keluarganya, dan para tentara mulai melarikan diri setelah mereka diberitahu bahwa pemberontak akan memasuki Damaskus dan kejatuhan rezim sudah dekat.
"Setelah itu, kami berangkat menuju Bandara Internasional Damaskus dan tiba di sana sekitar pukul tiga tengah malam, dan kami bertemu dengan paman saya Maher (al-Assad) di sana, karena bandara itu kosong dari staf, termasuk menara pengawas, dan kemudian kami diangkut dengan pesawat militer Rusia ke Latakia, di mana kami mendarat di bandara Hmeimim sebelum fajar," katanya.
Peristiwa dramatis pada malam itu mengakhiri kekuasaan brutal keluarga Assad selama lima dekade di Suriah, yang saat ini dikelola oleh pemerintah sementara yang dipimpin oleh Ahmed al-Sharaa, komandan Hayat Tahrir al-Sham.
Pemerintah transisi di Damaskus telah meminta Rusia untuk menyerahkan Bashar al-Assad agar ia dapat diadili atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Suriah.
Perang Suriah diyakini telah menewaskan lebih dari setengah juta orang dan membuat setengah dari populasi sebelum perang mengungsi, membuat sebagian besar negara ini mengalami kehancuran ekonomi.
Pemerintah Sharaa dihadapkan pada tantangan yang semakin besar untuk menyatukan negara yang terpecah belah dan melucuti berbagai faksi dan milisi bersenjata. Dia telah berulang kali memberikan jaminan bahwa semua kelompok agama dan etnis minoritas akan dilindungi, tetapi masih ada beberapa komunitas yang telah menyatakan keprihatinan tentang masa depan mereka di negara ini.
Telah terjadi puluhan serangan balasan yang menargetkan anggota minoritas Alawi yang merupakan bagian dari Assad.