Revisi UU TNI Coreng Demokrasi, Sivitas Akademika di Yogyakarta Aksi Tolak Dwifungsi Militer

13 hours ago 12

TEMPO.CO, Yogyakarta - Aksi anggota DPR yang melakukan pembahasan revisi UU TNI secara tertutup pada akhir pekan lalu di Hotel Fairmont Jakarta membuat geram kalangan sivitas akademika dan aktivis sosial di Yogyakarta. Ratusan mahassa, dosen, dan aktivis dari berbagai universitas pun berkumpul menggelar aksi di Balairung Universitas Gadjah mada (UGM), Selasa 18 Maret 2025 bertajuk Kampus Jaga Reformasi, Tolak Dwi Fungsi.

Dosen Fakultas Hukum UGM Yogyakarta Herlambang P. Wiratraman yang turut berorasi di depan ratusan mahasiswa dan aktivis menyatakan tidak ada urgensinya membahas perubahan UU TNI. "Apalagi jika prosesnya dilakukan secara tertutup dan tersembunyi di hotel mewah, bukan di rumah rakyat - Gedung DPR," kata Herlambang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak hanya isi revisi saja yang banyak ditemui kejanggalan. Herlambang mengatakan proses revisi UU TNI ini dari pembahasannya saja sudah secara terang-terangan mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi soal pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan hukum. "Suara publik berhak didengarkan, dipertimbangkan dan mendapatkan penjelasan dalam proses pembentukan hukum," kata Herlambang.

Secara isi dari revisi UU TNI, Herlambang  menyebutkan perluasaan posisi jabatan yang dimungkinkan bagi anggota TNI aktif, termasuk posisi yang memasuki ranah peradilan, tidak mencerminkan prinsip dasar supremasi sipil. "Jelas, draf revisi UU TNI tersebut justru akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas/kekebalan hukum anggota TNI," kata dia. "Kami merasakan bahwa, usulan revisi UU TNI tak hanya kemunduran dalam berdemokrasi, melainkan juga merusak tatanan agenda reformasi TNI."

Herlambang menilai menarik kembali peran TNI ke dalam jabatan kekuasaan sosial, politik, dan ekonomi justru akan semakin menjauhkan TNI dari profesionalisme yang diharapkan. Ini bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis dan akan membawa bangsa ini kembali pada keterpurukan otoritarianisme seperti pada masa Orde Baru.

Menurut Herlambang, tak ada urgensi pembahasan revisi UU TNI itu karena berbagai hal lain. Ia menyebut supremasi sipil dan kesetaraan di muka hukum menjadi prinsip mendasar yang harus diletakkan dalam pikiran kenegarawanan. 

"Ini adalah prinsip negara hukum demokratis dan secara eksplisit dijamin dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945-UUD 1945 dan TNI dan ketentuan yang mengaturnya, harus tunduk pada konstitusi," kata dia.

Keutamaan prinsip ini, kata Herlamabang, menjadi bagian penting dari semangat Reformasi 1998 dan telah dituangkan dalam TAP MPR Nomor X Tahun 1998, TAP MPR Nomor VI Tahun 1999 dan TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000. Pelanggaran hukum, tindakan pidana, yang dilakukan oleh militer, haruslah tunduk di bawah sistem hukum pidana sipil. 

"Bila hal mendasar seperti ini saja tidak pernah diupayakan sungguh-sungguh dalam bernegara, maka tak mengejutkan, TNI akan banyak melakukan kesewenang wenangan, dan bahkan kerap tanpa pertanggungjawaban hukum, atau impunitas," kata Herlambang.

Maka dari itu, menurut Herlambang, selama ada sistem hukum impunitas terhadap TNI, maka pembicaraan apapun tentang peran TNI menjadi tak relevan dan tak pernah bisa dipertanggungjawabkan.  "Artinya, tidak ada urgensinya membahas perubahan UU TNI," kata dia.

Rektor UII Yogyakarta Fathul Wahid yang turut dalam aksi itu mengatakan aksi ini menyuarakan kegelisahan, karena sudah cukup lama beredar di ruang publik dan ternyata diabaikan begitu saja oleh DPR. "Terkait revisi UU TNI yang kita tahu pernah suatu masa di Indonesia ketika dwi fungsi ABRI saat itu menyisakan banyak luka. Kita tidak ingin sisi gelap itu akan terulang kembali," kata Fathul.

UII, kata Fathul, sepakat menolak revisi itu. "Insya Allah kami sepakat menolak untuk kebaikan bangsa," kata dia.

Hal yang dikhawatirkan dari revisi itu, kata Fathul, akan kembali sejarah gelap ketika dwi fungsi ABRI banyak sekali yang disesali saat ini. Mulai dari supremasi militer yang sangat mungkin bermuara pada represi sipil. kemudian ada banyak kekerasan atas nama kepentingan negara.

Dalam aksi itu massa aksi menyerukan lima tuntutan. Pertama, menuntut pemerintah dan DPR membatalkan revisi UU TNI yang tidak transparan, terburu-buru, dan mengabaikan suara publik karena hal tersebut merupakan kejahatan konstitusi. Kedua, menuntut Pemerintah dan DPR untuk menjunjung tinggi konstitusi dan tidak mengkhianati Agenda Reformasi dengan menjaga prinsip supremasi sipil dan kesetaraan di muka hukum, serta menolak dwifungsi TNI/Polri.  

Ketiga, menuntut TNI/Polri, sebagai alat negara, melakukan reformasi internal dan meningkatkan profesionalisme untuk memulihkan kepercayaan publik. Keempat, mendesak seluruh insan akademik di seluruh Indonesia segera menyatakan sikap tegas menolak sikap dan perilaku yang melemahkan demokrasi, melanggar konstitusi, dan kembali menegakkan Agenda Reformasi. Kelima, mendorong dan mendukung upaya masyarakat sipil menjaga Agenda Reformasi dengan menjalankan pengawasan dan kontrol terhadap kinerja Pemerintah dan DPR. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |