Saat Kita Menyalahkan Cuaca dan Membiarkan Hutan Merana

4 hours ago 12

Oleh : Syuhelmaidi Syukur, Chairman Harika Foundation, Praktisi Sosial dan Manajemen Bencana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir tahun 2025 bukan hanya merenggut ribuan rumah dan meluluhkan pertanian rakyat. Hingga pekan pertama Desember, lebih dari 800 jiwa dilaporkan tewas, 1,1 juta warga terpaksa mengungsi, dan 2.300 desa terdampak (BNPB/Reuters, 2025). Infrastruktur pun lumpuh: 61 jembatan putus, 129 sekolah rusak, dan 34 fasilitas kesehatan tidak dapat beroperasi.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 6 Desember 2025 sore, jumlah korban tewas akibat banjir Sumatera naik menjadi 914 orang. Sementara itu, masih ada 389 orang yang dinyatakan hilang, dan ratusan ribu mengungsi. Berdasarkan data Pusdalops di setiap provinsi, pengungsi paling banyak terdapat di Aceh. 

Tetapi, ada satu kerusakan dahsyat yang luput dibicarakan: kerusakan hutan di hulu yang menjadi produsen risiko bencana ini.

Mengapa Hujan Selalu Disalahkan, Hutan Tidak?

Narasi klasik yang kita dengar setiap bencana adalah: “hujan ekstrem”. Namun, hujan hanya pelatuknya. Peluru bencana sudah kita siapkan lama ketika Sumatra kehilangan lebih dari 3,6 juta hektare hutan dalam 15 tahun terakhir, setara 3,6 kali luas Pulau Bali (KLHK/Liputan6, 2025). Di wilayah yang kini paling parah terkena banjir—Aceh, Sumut, dan Sumbar—tutupan hutan bahkan turun 16–28 persen dalam satu dekade terakhir (Walhi/BPS, 2024).

Hutan berfungsi sebagai penyangga hidrologis melalui infiltrasi air, pengendalian erosi, stabilitas lereng, dan penyerapan aliran permukaan. Hilangnya vegetasi mempercepat aliran runoff, menurunkan daya serap tanah, dan meningkatkan risiko longsor (Moos et al., 2023). Ketika tutupan hutan hilang, air hujan tidak lagi diserap, tetapi mengalir deras ke hilir dan meningkatkan risiko banjir besar (Lim et al., 2019). Selain itu, hilangnya akar dan kanopi meningkatkan erosi, mempercepat sedimentasi sungai (Blöschl et al., 2022), dan memperkecil kapasitas tampung aliran sungai.

Saat hutan hilang, tanah tidak lagi menyerap air. Akar tidak lagi menahan lereng. Sungai menerima limpahan lumpur dari bukit yang gundul. Ketika hujan deras datang, air tidak masuk ke bumi, tetapi mencari tempat meluap. Mungkin juga meluapkan amarahnya pada kelakukan manusia.

Jadi, bukan hujan yang teledor. Kita yang menyiapkan panggung agar bencana datang menimpa.

Bencana yang Diproduksi Kebijakan

Di Sumatra, ribuan hektare hutan di hulu DAS telah berubah menjadi perkebunan, tambang, dan jalan logistik industri. Data KLHK (2023) menunjukkan lebih dari 11.000 izin usaha ekstraktif aktif di wilayah Sumatera, termasuk dalam kawasan penyangga DAS. Izin yang diberikan bukan hanya merusak ekologi, tetapi juga memindahkan risiko dari pegunungan ke kampung-kampung di hilir.

Kajian internasional menunjukkan bahwa tingkat fatalitas bencana meningkat ketika penggunaan lahan dikendalikan oleh aktor ekonomi, sementara masyarakat tidak memiliki akses terhadap keputusan tata ruang (Agarwal et al., 2023). Kondisi ini terjadi di Sumatra, di mana kawasan hulu yang mengalami deforestasi bukan dihuni oleh masyarakat terdampak, tetapi oleh konsesi perusahaan yang menikmati keuntungan ekonomi. Sebaliknya, masyarakat hilir — petani kecil, penduduk desa, buruh informal perkotaan — tidak pernah terlibat dalam pengambilan keputusan tata ruang, tetapi menjadi pihak yang paling menderita.

Inilah yang disebut ketidakadilan ekologis:

bencana Sumatera harus dibaca sebagai ketidakadilan ekologis, yaitu kondisi di mana kelompok paling rentan menanggung risiko akibat keputusan ekonomi-politik pihak lain. Seperti dinyatakan Gariano dan Guzzetti (2016), bencana bukan hanya kejadian geofisik tetapi juga refleksi ketimpangan sosial.

Keuntungan dinikmati oleh segelintir pemegang konsesi. Namun kerugiannya  ditanggung masyarakat luas. Korban bencana tidak pernah ikut menandatangani izin tambang atau perkebunan yang merusak hutan, tetapi justru mereka yang harus mengungsi ke tenda-tenda darurat. Mereka kehilangan keluarga yang tercinta, segelintir asset yang mereka punya, sehingga ekonomi mereka ikut kolaps. Ini jelas tidak adil!

Manajemen Bencana: Kita Hanya Sibuk Setelah Bencana

Setiap banjir besar, petugas dikerahkan, bantuan dibagikan, media memotret heroisme kemanusiaan. Tetapi ada satu pertanyaan yang harus kita ajukan: mengapa kita begitu sibuk setelah bencana, dan begitu pelit sebelum bencana terjadi?

Indonesia masih menginvestasikan anggaran terbesar bencana untuk respon darurat, bukan pencegahan. Dari data BNPB (2024), hanya 6–8 persen anggaran bencana dialokasikan untuk mitigasi dan kesiapsiagaan, padahal pencegahan jauh lebih murah daripada membangun kembali setelah bencana.

Secara konseptual Total Disaster Management (TDM), pencegahan justru harus menjadi fokus utama. Tetapi di Indonesia, yang paling utama justru penyelamatan setelah semuanya telanjur rusak. Kita sibuk membagikan bantuan, tapi membiarkan hutan semakin hilang dari peta. Padahal mitigasi bencana yang berhasil tidak dapat dipisahkan dari perlindungan ekosistem lingkungan hidup.

Euforia Sesaat

Awareness terkait kerusakan hutan di hulu ini juga akan euforia sementara saat sekarang bencana terjadi, semua pihak protes. NGO lingkungan, anggota DPR akan protes keras kepada pemerintah melalui RDP di gedung Dewan terhormat. Pemerintah lewat kementerian terkait akan menindak tegas pengusaha nakal dengan mencabut izin, mungkin juga ada yang dihukum oleh pengadilan.

Tapi kemudian seiring waktu berlalu orang banyak akan lupa. The show must go on, bisnis akan berjalan as usual, izin-izin baru akan keluar kembali, sehingga perusakan hutan akan terus berulang. Selama sistem politik kita sangat tergantung kepada kekuatan modal, kayaknya akan sulit bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan tegas.

Saatnya Beralih dari "Build Back Better" ke "Build Back Better & Greener"

Jika pembangunan pasca bencana hanya membangun jalan, jembatan, dan rumah tanpa menyentuh akar masalah—hutan—maka kita hanya memperbaiki gejala, bukan penyebab. Kita memperbaiki korban, tetapi tidak menutup pabrik pembuat bencana. Build back better merupakan konsep yang bagus cuma tidak cukup bila belum memberikan perhatian khusus pada kualitas lingkungan hidup.

Dengan konsep “Build Back Better & Greenerkita membutuhkan langkah berani dari pengambil kebijakan, dengan mengarusutamakan pemeliharaan ekosistem lingkungan hidup. Pertama, Moratorium Izin di Hulu DAS, di mana Hutan penyangga tidak boleh lagi menjadi lahan bisnis yang tak terkendali. Jika hutan hilang, nyawa pun ikut hilang.

Kedua, Reforestasi DAS yang Terukur, tidak hanya menanam bibit untuk foto seremonial. Reforestasi harus terencana, berbasis DAS, melibatkan masyarakat lokal, dan bertanggung jawab terhadap keberlanjutan. Ketiga, Literasi Ekologis Sebagai Vaksin Bencana. Sekolah, media, dan pemerintah harus berhenti menyederhanakan bencana sebagai “musibah alam”. Ini persoalan tata ruang dan pilihan kebijakan.

Jika Tidak Berubah, Bencana Akan Jadi Kalender Tahunan

Sumatra memberi kita pelajaran: bencana tidak datang tiba-tiba; ia datang setelah lama kita undang. Jika kita terus menyalahkan cuaca dan membiarkan hutan merana, maka tiap musim hujan apalagi dengan curah hujan ekstrim akan menjadi pertaruhan nyawa.

Hujan akan selalu turun. Yang perlu kita jaga adalah hutan yang menyerapnya, tanah yang menahannya, dan sungai yang mengarahkannya. Jika alam sehat, hujan tidak pernah menjadi ancaman.

Sudah waktunya berhenti menyalahkan langit, dan mulailah menata ulang bumi. Sebab pada akhirnya, bencana bukan meteorologi; bencana adalah cerminan cara kita memperlakukan alam.

Wallahu a’lam bish shawab

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |