(Beritadaerah-Kolom) Presiden Prabowo Subianto kembali menyampaikan optimisme terhadap capaian ekonomi nasional, salah satu sorotan utamanya adalah realisasi investasi kuartal kedua 2025 yang mencapai Rp 477,7 triliun, naik 11,5% dibanding periode yang sama tahun lalu. Di tengah ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi dunia, lonjakan ini dipandang sebagai sinyal positif.
Namun di balik angka yang mengesankan tersebut, muncul catatan penting, serapan tenaga kerja justru menurun. Data dari Kementerian Investasi menunjukkan bahwa pada kuartal kedua 2025, jumlah tenaga kerja yang terserap hanya sekitar 665.000 orang, lebih rendah dibandingkan 677.000 orang pada periode yang sama tahun lalu. Padahal, nilai investasinya kini jauh lebih besar.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar, mengapa investasi yang meningkat tidak sejalan dengan penciptaan lapangan kerja? Bukankah salah satu tujuan utama investasi adalah memperluas kesempatan kerja?
Salah satu penjelasannya adalah arah investasi yang kini lebih banyak masuk ke sektor padat modal dan teknologi, seperti industri logam dasar, pertambangan, serta transportasi dan pergudangan. Sektor-sektor ini membutuhkan dana besar tetapi tidak menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan. Akibatnya, meski modal masuk meningkat, dampaknya terhadap penciptaan kerja tetap minim.
Dulu, pertumbuhan ekonomi 1% mampu menciptakan sekitar 500.000 lapangan kerja. Kini, angka itu menyusut menjadi hanya 100.000–150.000 saja. Ini mengindikasikan adanya masalah struktural, produktivitas yang menurun, daya beli masyarakat yang lemah, serta arah investasi yang belum berpihak pada sektor padat karya.
Di sisi lain, indeks aktivitas manufaktur (PMI) Indonesia terus berada dalam zona kontraksi, terakhir di angka 46,9. Ini menunjukkan lemahnya produksi dan permintaan, baik dari pasar domestik maupun ekspor. Kondisi ini membuat pelaku industri, khususnya di sektor-sektor padat karya seperti tekstil, garmen, alas kaki, dan furnitur, enggan menambah pekerja. Bahkan, potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diperkirakan meningkat dalam waktu dekat, diperburuk oleh tekanan dari ketegangan dagang global dan tarif ekspor.
Meski belum dirilis resmi, banyak pihak menduga data PHK nasional sengaja ditunda pengumumannya untuk meredam sentimen negatif. Di lapangan, berbagai sektor industri sudah mengindikasikan pengurangan karyawan, tak terkecuali sektor teknologi dan e-commerce.
Pemerintah menghadapi tantangan besar untuk mencegah krisis lapangan kerja. Arah investasi perlu dikaji ulang agar lebih menyasar sektor-sektor yang padat karya. Investasi yang hanya mengejar efisiensi dan teknologi tinggi, tetapi minim penciptaan kerja, akan menyulitkan masyarakat menikmati manfaat langsung dari pertumbuhan ekonomi.
Masalah lain adalah lambatnya penyerapan belanja pemerintah pusat. Pada kuartal pertama 2025, realisasi belanja tercatat minus 1,38%. Hal ini berimbas pada perlambatan pembangunan infrastruktur dan lemahnya stimulus fiskal. Padahal, belanja pemerintah memiliki multiplier effect besar dalam mendongkrak pertumbuhan.
Di saat Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali tahun ini, bunga kredit perbankan tetap tinggi. Hal ini disebabkan beberapa faktor, dana pemerintah yang masih tersimpan di Bank Indonesia, tingginya risiko kredit (terutama UMKM), serta kehati-hatian perbankan karena naiknya kredit bermasalah (NPL). Hasilnya, pelaku usaha sulit mengakses modal murah, dan pemulihan konsumsi belum berjalan maksimal.
Survei menunjukkan indeks persepsi ketersediaan lapangan kerja menurun, mencerminkan pesimisme masyarakat dalam mencari pekerjaan. Daya beli menurun, konsumsi rumah tangga melemah, harga kebutuhan pokok naik, dan tingkat pengangguran tak kunjung membaik. Ini menjadi sinyal bahwa tekanan terhadap ekonomi rumah tangga makin nyata.
Fenomena seperti maraknya pinjaman online ilegal dan meningkatnya praktik judi daring juga menjadi indikator sosial dari memburuknya kondisi ekonomi. Ketika penghasilan menurun dan lapangan kerja menyempit, sebagian masyarakat tergoda mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidup, meski risikonya tinggi.
Program pemerintah seperti MBG masih belum menunjukkan hasil yang memadai. Jika belanja negara tidak segera ditingkatkan secara efektif, harapan menjadikan MBG sebagai mesin pertumbuhan ekonomi akan sulit tercapai.
Tanpa stimulus fiskal yang kuat dan kebijakan investasi yang lebih inklusif terhadap penciptaan kerja, target pertumbuhan ekonomi di atas 5% akan sukar diraih. Bahkan lembaga-lembaga internasional telah menurunkan proyeksi pertumbuhan global, seiring dengan tekanan ekonomi dunia yang berkelanjutan.
Meski Komite Stabilitas Sistem Keuangan menyatakan bahwa ekonomi Indonesia tetap tangguh terhadap guncangan eksternal, kebijakan domestik tetap menjadi penentu utama. Perlu strategi jangka pendek yang konkret, percepatan belanja pemerintah, reformasi pasar tenaga kerja, dan insentif bagi sektor padat karya.
Presiden Prabowo dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa Indonesia berada di jalur yang tepat. Namun di balik optimisme makroekonomi, tantangan mikro yang dihadapi masyarakat sehari-hari tidak boleh diabaikan. Banyak warga masih kesulitan mencari kerja, pengeluaran terus naik, dan tabungan menipis.
Pertanyaan mendesak muncul, ke mana arah investasi Indonesia berikutnya? Apakah akan terus difokuskan pada efisiensi dan teknologi tinggi, atau mulai diarahkan ke sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja?
Pertanyaan ini sangat relevan, terutama karena Indonesia tengah menikmati bonus demografi. Jumlah penduduk usia produktif saat ini lebih besar dari yang non-produktif. Namun jika kesempatan kerja tidak tersedia, potensi ini bisa berubah menjadi beban demografis, bukan berkah.
Optimisme perlu, tetapi realisme lebih penting. Pemerintah perlu membaca sinyal-sinyal ekonomi secara menyeluruh—bukan hanya dari data investasi, tetapi dari kenyataan hidup warga. Keberhasilan ekonomi nasional bukan diukur dari seberapa banyak modal yang masuk, melainkan dari seberapa merata manfaatnya dirasakan oleh rakyat.
Lapangan kerja bukan sekadar statistik, tapi fondasi dari stabilitas sosial dan keberlanjutan pertumbuhan. Dalam kondisi global yang tidak menentu, memperkuat fondasi ini harus menjadi prioritas utama.