Sang Nusantara dan Jalan Menuju Kemakmuran

2 days ago 17

(Beritadaerah – Kolom) Di pagi yang cerah di tahun 2025, Sang Nusantara terbangun dari tidurnya yang panjang. Ia menatap dirinya di cermin samudra: lautan luas yang memantulkan bayangannya. Tubuhnya terdiri dari lebih dari 17.000 pulau, dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote. Rakyatnya nyaris 280 juta, dan di antara mereka tersebar ribuan bahasa, kebudayaan, dan mimpi.

Namun satu pertanyaan membayanginya: “Mengapa aku belum juga menjadi makmur?”

Sudah berpuluh tahun Nusantara tumbuh. Sejak tahun 2000, pertumbuhan ekonominya stabil di angka 4,9 persen per tahun—dua persen di atas rata-rata global. Ia bahkan berhasil mengangkat lebih dari 190 juta rakyatnya keluar dari kemiskinan ekstrem sejak 1984. Tapi kini, langkahnya melambat. Produktivitasnya yang dahulu tumbuh 3 persen per tahun, kini hanya 2 persen. Sementara dunia menuntut lebih.

Sebuah suara tua dari Laut Jawa berkata, “Jika engkau ingin menjadi bangsa sejahtera, engkau harus berubah. Tak bisa lagi hanya mengandalkan jumlah tangan yang bekerja, tapi apa yang mereka hasilkan.”

Nusantara mengangguk. Ia sadar, jika ingin menjadi negara berpendapatan tinggi di tahun 2045, pendapatan per kapita rakyatnya harus naik dari $4.900 menjadi $14.000. Itu artinya, pertumbuhan ekonominya harus naik menjadi 5,4 persen per tahun, dan produktivitas harus meningkat hingga 4,9 persen setiap tahun. Sebuah lompatan besar.

Nusantara

Ia memanggil penasihat bijaknya: lima elemen utama pembangunan. Mereka bernama Modal Keuangan, Modal Manusia, Modal Institusi, Modal Infrastruktur, dan Modal Kewirausahaan. Kelima elemen ini telah lama ada di tubuhnya, tapi tidur dalam diam.

Modal Keuangan berbicara lebih dulu. “Rakyatmu rajin menabung, wahai Nusantara. Tabungan mereka mencapai 38 persen dari PDB—lebih tinggi dari Thailand atau Polandia. Tapi lihatlah, hanya 2 persen dari PDB yang masuk ke dana pensiun. Sistem keuanganmu belum menyalurkan dana ini menjadi investasi produktif.”

Kemudian Modal Manusia menghela napas. “Hanya 40 persen anak mudamu menyelesaikan pendidikan menengah atas. Jumlah peneliti? Hanya 400 per sejuta orang. Sementara tetanggamu sudah mencapai 4.000. Jika tak segera diperbaiki, kita tak bisa menyiapkan pemimpin masa depan.”

Modal Institusi menyambung, “Untuk membuka bisnis di tubuhmu, butuh waktu 43 hari dan biaya lebih dari $1.300. Di negara lain, itu hanya butuh seminggu dan puluhan dolar. Bagaimana inovasi akan tumbuh jika perizinan seperti hutan belantara?”

Modal Infrastruktur menunduk. “Jalan-jalanmu belum menghubungkan pulau-pulaumu dengan baik. Biaya logistikmu 24 persen dari PDB. Bahkan lebih tinggi dari Thailand yang hanya 14 persen. Sinyal internet pun belum merata, kecepatannya kalah jauh dari Malaysia.”

Terakhir, Modal Kewirausahaan bersuara lirih, “Setiap tahun, hanya 0,3 dari setiap 1.000 warga usia kerja yang mendirikan bisnis baru. Di Brazil? Angkanya lebih dari 5. Tak banyak yang berani bermimpi di tengah kesulitan mendirikan usaha.”

Nusantara pun berkata pelan, “Lalu, apa yang harus kulakukan?”

Dari desa kecil di Sumatera Barat, seorang perempuan muda bernama Lestari mendengar panggilan itu. Ia adalah pengrajin songket digital, menjual hasil tenunnya lewat internet. Dulu, ia harus menitipkan ke toko kota. Kini, dengan telepon genggam dan platform daring, ia menjual ke pembeli dari Tokyo hingga Toronto. Tapi ia masih kesulitan mengakses pinjaman modal usaha.

“Saya ingin tumbuh, tapi bunga bank terlalu tinggi. Saya tak punya agunan. Semua masih informal,” katanya suatu malam di depan layar laptopnya yang retak.

Lestari bukan satu-satunya. Di seluruh Nusantara, jutaan pengusaha mikro berjuang seperti dirinya. Mereka adalah 97 persen dari seluruh usaha, menyerap 59 persen tenaga kerja. Namun produktivitas mereka rendah, karena kurangnya alat, pelatihan, dan akses pasar.

Nusantara sadar: ia harus membantu mereka naik kelas. Ia ingin mengubah lanskap bisnisnya. Menurut skenario impiannya, ia membayangkan jumlah perusahaan menengah meningkat jadi 200.000 dan perusahaan besar menjadi 40.000. Mereka akan menyerap 47 persen tenaga kerja—dua kali lipat dari saat ini.

Sementara itu, di pinggiran Yogyakarta, seorang pemuda bernama Ardi menjalankan pabrik makanan kecil. Ia bermimpi mengekspor keripik tempe. Tapi perizinan, ekspor, dan sertifikasi menjadi tembok besar. “Kami ingin menjadi besar, tapi seperti jalan tol yang tertutup portal bagi kami,” katanya sambil tertawa getir.

Padahal jika perusahaan seperti Ardi bisa naik kelas, produktivitas nasional bisa meningkat tiga kali lipat. Modal per pekerja bisa naik dari $31.000 menjadi $100.000. Bahkan, McKinsey menghitung bahwa 26 persen pertumbuhan itu bisa terjadi hanya dengan memindahkan pekerja dari usaha mikro ke perusahaan yang lebih besar dan produktif.

Di sisi lain negeri, di Flores, seorang petani bernama Baba Tani menggarap sawah 0,6 hektar miliknya. Ia belum pernah memakai drone, sensor tanah, atau benih unggul. “Ladang ini dari nenek moyang, kami mengerjakannya dengan cara lama. Tapi panen makin sedikit,” katanya sambil mengusap peluh.

Padahal pertanian menyumbang banyak pekerjaan, dan kalau saja Baba bisa menggunakan alat modern dan aplikasi cuaca digital, ia bisa meningkatkan hasil dua atau tiga kali lipat. Tapi ia tak sendiri. Hanya 2 persen petani Indonesia yang memakai e-commerce. Dan hanya 1 persen lahan yang ditanami padi hibrida produktivitas tinggi.

Nusantara ingin semua petani seperti Baba bisa sejahtera. Tapi ia juga tahu, urbanisasi tak bisa dibendung. Pada tahun 2045, 70 juta penduduk baru akan menghuni kota. Tantangannya: apakah kota siap menampung mereka?

Ia ingin membangun kota yang terencana. Bukan kota beton tanpa arah, tapi kota “15 menit” di mana warganya bisa bekerja, belajar, dan bermain dalam satu zona. Ia membayangkan pelabuhan efisien, jalan tanpa kemacetan, dan taman kota yang teduh. Jika itu tercapai, urbanisasi bisa menjadi mesin pertumbuhan, bukan beban.

Kini, Sang Nusantara tahu: untuk menjadi makmur, ia harus menghidupkan kembali kelima modalnya, menyatukan desa dan kota, meratakan kesempatan, dan membangkitkan semangat usaha rakyatnya.

Ia tak ingin hanya dikenal sebagai “Negara Kepulauan”. Ia ingin dikenal sebagai Negara Entrepreneurial—negeri yang berani bermimpi, dan mampu mencapainya bersama.

Dan ketika tahun 2045 tiba, saat matahari menyinari pelabuhan Makassar dan desa-desa di Papua, dunia akan menyaksikan bahwa Sang Nusantara telah bangkit. Bukan karena ia besar secara geografis, tapi karena ia berhasil memberdayakan rakyatnya—satu demi satu, usaha demi usaha.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |