TEMPO.CO, Jakarta - Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani mengungkapkan rencana penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Perumahan yang dicanangkan pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) justru bakal menggendong sejumlah risiko jika tidak diterapkan dengan baik.
“Jika tidak diimplementasikan dengan baik, kebijakan ini justru bisa menambah tekanan fiskal tanpa memberikan solusi nyata terhadap krisis perumahan yang sedang dihadapi masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia,” kata Listya dalam tulisan ilmiahnya ‘Membuka Pintu Rumah untuk MBR: SBN Perumahan, Game Changer atau Tantangan Baru?’.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun wacana pemerintah menerbitkan SBN Perumahan sebagai skema pendanaan baru untuk mendukung sektor perumahan, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Langkah ini diklaim sebagai solusi inovatif dalam menjawab tantangan akses kepemilikan rumah yang selama ini menjadi permasalahan struktural di Indonesia.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menekankan bahwa penerbitan SBN akan menjadi instrumen pembiayaan yang lebih fleksibel tanpa harus sepenuhnya bergantung pada alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan skema ini, pemerintah berharap dapat memperluas akses kredit perumahan bagi MBR tanpa meningkatkan beban fiskal secara langsung.
Berpotensi tingkatkan beban utang negara
Menurut Listya penerbitan SBN Perumahan memang menjadi langkah strategis mempercepat pembiayaan perumahan tanpa langsung membebani APBN. Namun, kebijakan ini juga berpotensi meningkatkan beban utang negara dalam jangka panjang. Saat ini, kata dia, rasio utang pemerintah terhadap PDB telah mencapai 39,2 persen pada 2023, mendekati batas aman yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara sebesar 60 persen.
“Meskipun pemerintah berupaya menjaga disiplin fiskal, penerbitan SBN dalam jumlah besar tanpa strategi mitigasi yang jelas dapat meningkatkan tekanan pembayaran bunga utang, yang dalam APBN 2024 saja sudah mencapai Rp497 triliun atau sekitar 12,7 persen dari total belanja negara,” kata Listya, sebagaimana dikutip dari dokumen yang diterima Tempo, Ahad 23 Februari 2025.
Selain itu, Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII ini mengatakan ada risiko bahwa penerbitan SBN perumahan tidak menarik minat investor jika mekanisme penjaminan dan tingkat pengembalian dianggap kurang kompetitif. Dalam beberapa tahun terakhir, pasar obligasi domestik menghadapi volatilitas akibat fluktuasi (labil) suku bunga global, yang dapat mengurangi daya tarik SBN berbasis perumahan.
Jika minat investor rendah, kata Listya, pemerintah mungkin perlu menawarkan yield (imbal hasil) yang lebih tinggi, yang justru berpotensi meningkatkan biaya pinjaman dan membebani anggaran negara dalam jangka panjang. Oleh karena itu, keberlanjutan fiskal harus menjadi pertimbangan utama dalam skema ini agar SBN perumahan tidak menjadi beban bagi generasi mendatang.
Berpotensial tak tepat sasaran
Selain risiko meningkatkan beban utang negara, peluang penyaluran yang tidak tepat sasaran juga mengintai, sebagaimana acap terjadi pada sederet program subsidi pemerintah termasuk perumahan. Sejarah program subsidi perumahan di Indonesia menunjukkan bahwa banyak bantuan yang seharusnya diperuntukkan bagi kelompok berpenghasilan rendah justru dinikmati oleh golongan menengah atas.
“Salah satu tantangan utama dalam program pembiayaan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) adalah risiko penyaluran yang tidak tepat sasaran,” kata Listya.
Menurut dia, studi dari World Bank atau Bank Dunia pada 2022 menunjukkan bahwa dalam beberapa skema subsidi perumahan, lebih dari 30 persen penerima ternyata bukan berasal dari kelompok sasaran. Hal ini terjadi karena adanya berbagai moral hazard, mulai dari manipulasi data penghasilan hingga spekulasi properti oleh investor yang membeli rumah subsidi hanya untuk disewakan atau dijual kembali.
Berpotensi mangkrak
Selain itu, efektivitas program juga bergantung pada kualitas dan lokasi perumahan yang dibangun. Banyak proyek perumahan subsidi terdahulu dibangun di lokasi yang jauh dari pusat ekonomi, dengan akses terbatas ke transportasi, fasilitas kesehatan, dan pendidikan. Akibatnya, banyak rumah subsidi yang akhirnya tidak dihuni karena sulit dijangkau oleh pekerja dengan mobilitas tinggi.
Data dari Kementerian PUPR menunjukkan bahwa sekitar 10 sampai 15 persen rumah subsidi yang dibangun dalam skema FLPP sebelumnya mengalami keterlambatan serapan atau bahkan mangkrak karena perencanaan lokasi yang kurang matang. Jika pola ini kembali terulang dalam program SBN perumahan, maka risiko pemborosan anggaran dan inefisiensi kebijakan akan semakin besar.
Berpotensi minus daya serap
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata penghasilan MBR di Indonesia berkisar antara Rp3 juta hingga Rp6 juta per bulan. Dengan asumsi harga rumah subsidi berkisar Rp150 juta hingga Rp200 juta, cicilan bulanan bisa mencapai Rp1 juta hingga Rp1,5 juta tergantung pada tenor dan suku bunga.
Menurut DDosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, salah satu pertanyaan kritis terkait keberhasilan SBN Perumahan adalah apakah MBR benar-benar mampu membeli rumah meskipun telah diberikan skema pembiayaan khusus. Pasalnya, porsi pendapatan yang harus dialokasikan untuk kepemilikan rumah bisa mencapai lebih dari 30 persen, yang merupakan ambang batas keterjangkauan finansial menurut standar perbankan.
Selain itu, kata dia, tingkat literasi keuangan dan akses MBR terhadap kredit perbankan masih menjadi hambatan utama. Berdasarkan survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2022, hanya 29,6 persen dari masyarakat berpenghasilan rendah yang memiliki akses ke kredit formal, sementara sisanya masih mengandalkan sistem pembayaran informal. Banyak MBR yang bekerja di sektor informal, yang membuat mereka tidak memenuhi syarat perbankan untuk mendapatkan kredit rumah.
“Tanpa solusi yang menyentuh aspek kemudahan akses KPR, insentif suku bunga, serta pendampingan literasi keuangan, ada risiko bahwa SBN perumahan hanya akan mempercepat pembangunan rumah, tetapi tidak meningkatkan kepemilikan oleh MBR,” katanya.
Listya berpendapat, dengan tantangan-tantangan tersebut, kebijakan ini harus dibarengi dengan mekanisme pengawasan yang ketat, transparansi data penerima manfaat, serta perencanaan yang matang dalam aspek lokasi dan aksesibilitas perumahan. Tanpa mitigasi risiko yang jelas, program SBN Perumahan berpotensi menjadi kebijakan yang ambisius di atas kertas, tetapi gagal memberikan dampak nyata bagi masyarakat yang paling membutuhkan.