TEMPO.CO, Jakarta - Kasus korupsi merupakan salah satu permasalahan yang kerap terjadi di banyak belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Salah satu contoh, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan tindak pidana korupsi dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi.
Dilansir dari jurnal TELAAH YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA PADA SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN SIDOARJO, korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang paling sulit dijangkau oleh aturan hukum pidana. Korupsi sebagai suatu perbuatan curang (tig bedorven) dan tidak jujur (oneerlijk) dengan pola perbuatan yang demikian itu paling mudah merangsang untuk ditiru dan menjalar di lapisan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindak pidana korupsi (tipikor) dipandang sebagai extra ordinary crime karena prakteknya yang semakin luas dan sistematis, selain itu wilayah cakupannya juga sangat luas. Bahkan tipikor telah melewati batas-batas dari wilayah negara, sehingga merupakan kejahatan transnasional. Sebagai extra ordinary crime, maka dibutuhkan instrumen hukum khusus yang mengatur secara khusus tentang masalah korupsi.
Berdasarkan buku Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami tindak Pidana Korupsi, korupsi diatur di dalam 13 pasal di UU 31/1999 dan perubahannya yang kemudian dirumuskan menjadi 30 jenis-jenis tindak pidana korupsi. Ketiga puluh jenis tersebut disederhanakan ke dalam 7 jenis tindak pidana korupsi, yaitu korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
1. Merugikan Keuangan Negara
Jenis korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116 – 117). Adapun unsur-unsur korupsi yang mengakibatkan kerugian negara dalam kedua pasal tersebut adalah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dan/atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
2. Suap
Suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara aktif memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur. Suap-menyuap terjadi terjadi jika terjadi transaksi atau kesepakatan antara kedua belah pihak.
3. Penggelapan dalam Jabatan
Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti suap untuk melindungi pemberi suap, dan lain-lain. Adapun, ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal 8 UU 20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c UU 20/2001.
4. Pemerasan
Pemerasan adalah perbuatan dimana petugas layanan yang secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur. Pemerasan diatur dalam Pasal 12 huruf e, f, dan g UU 20/2001
5. Perbuatan Curang
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001 seseorang yang melakukan perbuatan curang diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp350 juta.
6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12 huruf i UU 20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara secara langsung ataupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan padahal ia ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
7. Gratifikasi
Jenis kasus korupsi terakhir adalah gratifikasi. Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.