Setelah Ditarik Band SUKATANI, Apakah Lagu Bayar-Bayar-Bayar Jadi Terlarang?

8 hours ago 9

TEMPO.CO, Bagus - Fenomena kasus grup musik SUKATANI bisa dilihat dari dua perspektif hukum yaitu perdata dan pidana. Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bagus Fauzan menyoroti dua hal soal klarifikasi band SUKATANI di media sosial pada Kamis, 20 Februari 2025, yaitu permintaan maaf ke Kapolri dan institusinya, serta penarikan karya lagu berjudul 'Bayar-Bayar-Bayar' yang mengkritik pungutan liar oleh polisi di berbagai kondisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari sisi permintaan maaf menurut Bagus, dari hukum publik biasanya punya kaitan erat dengan pencemaran nama baik atau penghinaan. Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang ujaran kebencian, penghinaan di pasal 131, 157, dan 310, intinya menyatakan menyerang kehormatan seseorang. “Tidak bisa ditujukan ke badan hukum, lembaga atau instansi,” ujarnya kepada Tempo, Jumat 22 Februari 2025.

Begitu pun menurut Bagus jika mengacu pada Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang ujaran kebencian, hal itu hanya bisa ditujukan terhadap individu atau kelompok masyarakat. Sama halnya di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Kemudian soal penarikan lagu, Bagus mengatakan lagu atau musik adalah suatu benda yang diciptakan personel band SUKATANI. Ketika seorang menciptakan sebuah lagu, dia dianggap sebagai pemilik benda tersebut berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hukum benda bersifat tertutup dan memaksa, sehingga pemilik lagu berhak memberikan izin kepada orang lain atau bahkan melarang orang untuk menggunakannya.

Dari Undang-undang Hak Cipta, kata Bagus, aturan menarik lagu dari peredaran terdapat di pasal 106 tentang penetapan sementara pengadilan atas permintan pihak yang merasa dirugikan karena pelanggaran hak cipta jika ada putusan dari Pengadilan Niaga. Lalu pada pasal 110, penyidik berwenang untuk menyita serta menghentikan peredaran atas izin pengadilan. “Jadi dari perspektif hukum, yang bisa melarang itu si pemilik atau pencipta lagu dan putusan pengadilan,” ujarnya.

Duo band Sukatani Dok. Nois Are Sip!

Sebagai pemilik lagu, band SUKATANI bisa menarik dan melarang peredaran, penyebar luasan, atau penggandaan karyanya. Namun kata Bagus, mereka harus menggunakan Undang-undang Hak Cipta nomor 28 tahun 2014 sebagai dasar hukumnya dan melaporkannya ke polisi karena deliknya aduan. Kini setelah penarikan karya oleh band Sukatani di media sosial, tidak lantas tembang 'Bayar-Bayar-Bayar' menjadi barang terlarang bagi publik. “Tidak, karena tidak ada dasar hukumnya yang menetapkan lagu tersebut adalah lagu terlarang,” ujar Bagus.

Sementara dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unpar Bandung, Nefa Claudia Meliala mengatakan, segala bentuk karya seni termasuk lagu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Hak konstitusional warga negara itu dilindungi Undang-undang. “Termasuk ketika seniman mengajukan kritik dalam bentuk lagu atau karya seni apa pun, karya tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dijamin undang-undang,” katanya kepada Tempo, Jumat 21 Februari 2025.

Kasus ini menurutnya menarik perhatian publik karena personel band SUKATANI mengeluarkan permintaan maaf atas karya seni yang mereka buat. Mereka juga membuka penutup wajah pada saat menyampaikan permintaan maaf padahal penutup wajah itu biasanya digunakan ketika mereka tampil di panggung.

Dia menangkap apa yang dikhawatirkan publik saat ini soal apakah ada semacam intimidasi atau ancaman dari pihak tertentu sehingga personel band ini dibawah tekanan. Ada kekhawatiran juga muncul ketakutan di kalangan pekerja seni untuk mengekspresikan pemikiran mereka lewat karya seni. “Apakah karya seni semacam ini merupakan suatu tindak pidana, menurut saya tidak. Justru yang tidak boleh dilakukan itu adalah mengancam atau mengintimidasi,” ujar Nefa.

Dia berharap pihak kepolisian mengevaluasi diri secara objektif. Ketika ada pihak yang mengkritisi sesuatu menurutnya, tidak lantas mereka membenci melainkan agar lebih baik. “Kritik yang bersifat konstruktif justru seharusnya diapresiasi, kita semua mau Polri yang lebih baik,” kata Nefa.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |