TEMPO.CO, Jakarta - Hasil riset Nalar Institute mengungkap bahwa berbagai dampak negatif sosial-lingkungan dari Proyek Strategis Nasional disingkat PSN dalam rentang tahun 2016-2024 di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) utamanya disebabkan bemasalahnya proses siklus kebijakan publik.
Proses ini mencakup identifikasi masalah, penyusunan agenda (agenda setting), perencanaan, implementasi kebijakan, dan monitoring dan evaluasi kebijakan.
“Di tahap identifikasi dan agenda setting, kami menemukan bahwa PSN sebagai penyelesaian masalah publik yang seharusnya berorientasi redistributif, justru dalam praktiknya di lapangan cenderung distributif. Artinya pemerintah tidak mengutamakan pemerataan ekonomi. Kemudian pendekatan dalam hubungan pelaksana PSN dengan warga cenderung bersifat prosedural melalui peraturan dan aparat penegak hukum yang merepresi penolakan warga. Agenda setting perumusan PSN mengindikasikan terbatasnya keterwakilan aktor dan kajian baik KLHS maupun AMDAL,” kata peneliti Nalar Institute Ani Nur Mujahidah dalam acara deminasi riset bertajuk Proyek Strategis Nasional: Kepentingan (Si)apa?: Catatan Kritis Implementasi PSN 2016-2024 yang digelar secara daring pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Pada tahap perencanaan dan formulasi kebijakan, Ani menyebut pihaknya menemukan tiga celah terbesar. Pertama, tidak adanya sosialisasi dan konsultasi publik dengan jumlah 13 peristiwa. Kedua, kurangnya sosialisasi publik sebanyak 12 peristiwa. Ketiga, kurangnya transparansi informasi dengan 9 peristiwa.
Dia mencontohkan promblematika tersebut dari proyek pembangunan sirkuit MotoGP Mandalika. Dalam kasus tersebut, Ani menyebut sebanyak 87 persen dari warga yang terdampak mengaku tidak mendapatkan informasi mengenai hak-hak kesejahteraan. Mereka tidak diberi kesempatan berkonsultasi dengan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Bahkan, tidak ada satu pun warga dilibatkan dalam desain relokasi.
“Kami merefleksikan dua poin penting di sini. Pertama, ditemukan korelasi antara tidak adanya pelibatan masyarakat adat di tahap perencanaan dan menurunnya kualitas kehidupan masyarakat adat. Kedua, perusahaan dan pemerintah yang memiliki rekam jejak tidak melibatkan masyarakat di tahap awal perencanaan, pasti pembangunan tersebut akan sarat eksploitasi dan menimbulkan efek negatif pada aspek sosial-lingkungan,” papar Ani.
Kemudian pada tahap implementasi kebijakan, studi mereka menemukan bahwa intimidasi aparat kerap dilakukan untuk melancarkan proses implementasi pembangunan PSN di daerah 3T. Masalah lain yang juga paling banyak ditemukan selanjutnya adalah blokade warga.
Iklan
Data-data yang dihimpun peneliti menunjukkan bahwa mandegnya pembangunan PSN di sejumlah daerah disebabkan oleh kendala dalam proses pembebasan lahan. Beberapa faktor turut memengaruhi hambatan tersebut, salah satunya adalah permasalahan ganti rugi lahan di tahap awal yang tak kunjung selesai. Selain itu, lahan yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur dibangun di atas lahan yang tidak jelas secara administratif sehingga rawan terjadi sengketa lahan.
Terakhir pada tahap monitoring dan evaluasi kebijakan, studi imenemukan bahwa PSN di daerah 3T berkelindan dengan persoalan paling akut, yakni korupsi. Jejak korupsi di pembangunan kawasan industri Nikel PSN, misalnya, melibatkan perusahaan dan pemerintah daerah.
“Dari hasil kajian kami, ditemukan bahwa dari delapan PSN yang terindikasi kasus korupsi, empat di antaranya berasal dari industri pertambangan. Ini menandakan bahwa implementasi PSN masih memiliki permasalahan dalam hal akuntabilitas dan transparansinya sejak awal perencanaan hingga eksekusi,” ujar Ani.
Ani menyebut ada tiga aktor yang memiliki peran signifikan dalam berkongkalikong pada maraknya kasus korupsi pada PSN, yakni pemerintah, pebisnis, dan politisi. Hal ini membuat check and balance dalam proses administrasi sulit dilakukan. Kemudian pihaknya menilai ada peran signifikan dalam hal regulasi untuk melancarkan korupsi di tatarannya yang lebih tinggi.
“Ketika UU Minerba dilebur menjadi UU Cipta Kerja, perizinan yang terdesentralisasi menjadi tersentralisasi di mana kewenangan secara utuh diberikan kepada pemerintahan pusat, dalam hal ini adalah Presiden RI dan Wakilnya serta Kementerian ESDM, Menurut sejumlah ahli, sentralisasi perizinan ini justru menutup ruang partisipasi warga dan membuka celah korupsi dalam skala yang lebih besar,” pungkasnya.
HATTA MUARABAGJA
Pilihan editor: CELIOS Sebut Masyarakat Minim dapat Manfaat dari Implementasi PSN di Era Jokowi