Soal Penghentian Impor Pangan, Dosen dan Peneliti UII: Tantangan Kebijakan Pangan Tahun Pertama Prabowo

6 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menghentikan impor pangan empat komoditas pangan strategis, yaitu beras, jagung, gula konsumsi, dan garam konsumsi pada 2025. Penghentian impor pangan ini bertujuan untuk mencapai swasembada pangan. 

Menurut Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia, Listya Endang Artiani, kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto pada tahun pertama akan menghadapi ujian berat dalam memastikan keberhasilan program swasembada pangan.

"Proyeksi menunjukkan, Indonesia memerlukan peningkatan produksi beras hingga 3 persen per tahun untuk mencapai target swasembada," kata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo.co, Kamis,9 Januari 2024.

Namun, alih fungsi lahan pertanian yang mencapai 100.000 hektare per tahun menjadi tantangan besar mewujudkan target ini. Selain itu, pengembangan teknologi pertanian yang diharapkan meningkatkan produktivitas hingga 30 persen masih terbatas pada wilayah tertentu, meninggalkan kesenjangan besar daerah maju dan tertinggal.

Pada konteks distribusi pangan, pemerintah memroyeksikan investasi hingga Rp15 triliun untuk membangun infrastruktur penyimpanan dan distribusi pada 2025. Namun, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada implementasi konsisten dan pengawasan ketat.

"Pemerintah juga menghadapi tantangan memastikan keberlanjutan program subsidi dan insentif bagi petani yang memerlukan alokasi anggaran hingga Rp25 triliun pada 2025. Jika kebijakan ini berhasil, diproyeksikan produktivitas beras dapat meningkat hingga 5 persen, sedangkan produktivitas jagung meningkat 10 persen" kata Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu.

Dengan proyeksi ini, 2025 akan menjadi tahun krusial untuk menentukan arah kebijakan pangan nasional. Keberhasilan atau kegagalan program swasembada pangan tidak hanya akan memengaruhi stabilitas harga dan inflasi, tetapi masa depan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, proyeksi ini juga memberikan dampak sosial dan ekonomi pada beberapa sektor sebagai berikut.

1. Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Pada 2025, penghentian impor empat komoditas strategis diproyeksikan membawa risiko terhadap ketahanan pangan rumah tangga, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Berdasarkan laporan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) 2024, kebutuhan nasional untuk beras diperkirakan mencapai 33 juta ton pada 2025, sedangkan kapasitas produksi domestik sekarang sekitar 31 juta ton. Kekurangan pasokan ini diprediksi meningkatkan harga beras 20-25 persen di pasar domestik sehingga memperburuk daya beli masyarakat.

Sementara itu, Badan Pangan Nasional (BPN) mencatat, konsumsi gula Indonesia 2024 mencapai 3,2 juta ton, tetapi produksi domestik hanya mampu memenuhi sekitar 2,3 juta ton. Jika produksi tidak mengalami peningkatan signifikan pada 2025, masyarakat berisiko menerima harga gula lebih tinggi hingga 15-18 persen.

"Kenaikan harga ini dapat mendorong prevalensi ketidakamanan pangan di kalangan rumah tangga rentan dengan dampak nyata pada peningkatan stunting," kata Listya.

Proyeksi dari UNICEF menyebutkan, prevalensi stunting saat ini berada di angka 21,6 persen berisiko naik menjadi 23 persen pada 2025 sehingga menghambat target pemerintah menurunkan target di bawah 14 persen untuk 2027.

2. Angka Kemiskinan

Peningkatan harga pangan memiliki konsekuensi langsung terhadap angka kemiskinan. Data BPS 2024 menunjukkan, sebanyak 9,3 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dengan sekitar 70 persen pengeluaran mereka dialokasikan untuk kebutuhan pangan. Proyeksi Bank Dunia mengindikasikan, lonjakan harga komoditas pangan, seperti beras dan gula, dapat mendorong tingkat kemiskinan nasional naik menjadi 10-11 persen pada 2025 yang menambah sekitar 3 juta orang ke dalam kategori miskin.

Pemerintah telah menyiapkan alokasi subsidi pangan sebesar Rp50 triliun pada 2025, naik dari Rp43 triliun pada 2024. Namun, efektivitas subsidi ini sangat bergantung pada distribusi, terutama menjangkau daerah terpencil yang infrastrukturnya terbatas. Listya mengatakan, tantangan ini menjadi salah satu agenda prioritas tahun pertama Prabowo yang berkomitmen menekan angka kemiskinan melalui program penguatan ketahanan pangan.

3. Tenaga Kerja Sektor Pertanian

Menurut Listya, penghentian impor pangan diperkirakan menciptakan peluang dan tantangan bagi sektor tenaga kerja pertanian. Pemerintah menargetkan peningkatan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB hingga 14 persen pada 2025, naik dari 12,6 persen pada 2024. Salah satu cara mencapainya dengan menciptakan 5 juta lapangan kerja baru di sektor ini. Namun, produktivitas pertanian Indonesia masih menjadi kendala.

Data Kementan 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 30 persen petani Indonesia adalah petani subsisten dengan akses terbatas terhadap teknologi pertanian modern dan pupuk bersubsidi. Tanpa pembenahan struktural, potensi peningkatan lapangan kerja memicu stagnasi produktivitas dan memperburuk ketimpangan pendapatan petani kecil.

4. Stabilitas Sosial

Potensi lonjakan harga pangan 2025 diprediksi memengaruhi stabilitas sosial. Berdasarkan survei Litbang Kompas (Desember 2024), sekitar 72 persen masyarakat menyebut kenaikan harga pangan sebagai isu paling mengkhawatirkan. Lonjakan harga beras, gula, dan garam konsumsi memicu keresahan, terutama wilayah perkotaan dengan tingkat ketergantungan tinggi terhadap komoditas tersebut.

Presiden Prabowo telah menyiapkan langkah mitigasi melalui cadangan pangan pemerintah (CPP) yang ditargetkan mencapai 3 juta ton beras pada 2025, naik dari 2 juta ton pada 2024.  Cadangan ini dirancang untuk menstabilkan harga pasar domestik, terutama pada musim paceklik. Namun, tantangan distribusi dan transparansi dalam pengelolaan cadangan pangan tetap menjadi perhatian karena potensi penyalahgunaan mengurangi efektivitas kebijakan.

5. Ekonomi Makro

Proyeksi inflasi pangan 2025 diperkirakan mencapai 7-9 persen, naik dari 5,7 persen pada 2024, jika pasokan domestik tidak mampu mengimbangi kebutuhan nasional. Inflasi pangan yang tinggi dapat memberikan tekanan pada inflasi umum yang diproyeksikan naik menjadi 4,5-5 persen pada 2025, melampaui target inflasi BI sebesar 3 persen. Kondisi ini berisiko menurunkan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan hanya mencapai 4,8-5 persen pada 2025, turun dari 5,2 persen pada 2024.

"Dengan demikian, proyeksi 2025 menunjukkan bahwa kebijakan pangan, termasuk penghentian impor pangan, akan menjadi ujian nyata bagi pemerintahan Prabowo mewujudkan swasembada pangan dan menjaga stabilitas sosial serta ekonomi nasional," kata Listya, menegaskan.

Pilihan Editor: Dosen dan Peneliti UII: Risiko Penghentian Impor Pangan Jika Dilakukan Pemerintahan Prabowo

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |