TEMPO.CO, Jakarta - Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan lebih dari 70 persen masyarakat tidak mengetahui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Revisi KUHAP).
“Hanya sekitar 30 persen, tepatnya 29,7 persen, masyarakat yang tahu bahwa pemerintah sedang membahas perubahan KUHAP, sementara 70,3 persen lainnya itu bilang tidak tahu,” ujar peneliti LSI Yoes C. Kenawas dalam rilis hasil survei tersebut di daerah Pela Mampang, Jakarta Selatan pada Ahad, 13 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yoes menjelaskan, LSI melakukan survei pada 22 hingga 26 Maret 2025 dengan wawancara melalui telepon terhadap 1.241 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik acak bertingkat (stratified random sampling). LSI mengklaim tingkat kesalahan survei lebih kurang 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Melihat hasil survei itu, Yoes menyatakan pembahasan RUU KUHAP masih menjadi isu elit dan belum mendapat perhatian masyarakat banyak. Sementara itu, dalam penerapannya nanti, masyarakat sebagai pihak yang juga akan merasakan langsung dampak dari perubahan yang dilakukan terhadap KUHAP.
“Artinya diperlukan sosialisasi yang lebih dari semua pihak agar masyarakat lebih peduli bahwa ada rencana perubahan undang-undang yang akan memengaruhi mereka di masa depan kalau, semoga jangan sampai, mereka terlibat kasus pidana atau berurusan dengan aparat penegak hukum,” tuturnya.
Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto yang juga hadir dalam rilis itu menekankan pentingnya kesadaran masyarakat atas dampak perubahan KUHAP. Menurut dia, selain melindungi hak-hak warga negara, perubahan ini juga diharapkan dapat membangun sistem kontrol dalam penegakan hukum negara.
“Sehingga, diharapkan perubahan ini turut menyentuh substansi yang diharapkan masyarakat dalam melindungi hak-hak mereka di hadapan hukum,” kata Bambang.
Sebelumnya, Komisi III DPR telah menetapkan akan segera membahas revisi KUHAP. DPR sebelumnya telah menerima surat presiden untuk membahas revisi KUHAP dalam rapat paripurna pada Selasa, 25 Maret 2025. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman memastikan revisi KUHAP akan dibahas lewat komisi yang membidangi penegakan hukum itu.
Habiburokhman mengatakan pembahasan revisi itu ditargetkan rampung dalam waktu yang tidak terlalu lama karena pasal yang termuat tidak terlalu banyak. “Jadi paling lama dua kali masa sidang. Kalau bisa satu kali masa sidang besok sudah selesai, kita sudah punya KUHAP yang baru,” ucapnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 20 Maret 2025.
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pembahasan revisi KUHAP digelar secara terbuka. "Supaya apa yang mereka bahas itu sesuai dengan harapan masyarakat," kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur setelah bertemu dengan pimpinan Komisi III DPR pada Selasa, 8 April 2025.
Menurut dia, transparansi ini penting, terlebih ada sejumlah pasal yang memberikan peluang bagi aparat penegak hukum untuk menyalahgunakan wewenang. "Jadi kami mengingatkan agar pembahasan tidak terburu-buru," katanya.
Dalam penegakan hukum, KUHAP akan menjadi dasar bagi aparat untuk menangkap dan menahan seseorang. Jika pasal-pasal yang mengaturnya tidak jelas, tentu akan menimbulkan persoalan baru, terutama menyangkut pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Koalisi Masyarakat Sipil berharap pembahasan revisi KUHAP bisa dijadikan momentum untuk mendorong reformasi sistem peradilan pidana. DPR harus menggunakan kewenangannya secara maksimal karena ini menyangkut perlindungan hak masyarakat dalam proses hukum. "Kalau negara kita ingin beradab, manusiawi, ya, dimulai dari KUHAP karena inilah yang memutuskan orang dari bebas, ditangkap, kemudian dipenjara," kata Isnur.
Mutia Yuantisya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.