TEMPO.CO, Jakarta - Wacana pengampunan bagi koruptor yang mengembalikan hasil curiannya memunculkan perbedaan pandangan di kalangan pejabat pemerintahan. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mendukung langkah ini melalui pemberian amnesti dan abolisi. Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menilai hal tersebut perlu dipahami dalam konteks mekanisme yang berbeda.
Yusril Ihza Mahendra menilai ide Presiden Prabowo Subianto soal pengampunan koruptor sejalan dengan kewenangan konstitusional presiden. Menurut Yusril, amnesti dan abolisi untuk pelaku tindak pidana korupsi yang mengembalikan kerugian negara adalah langkah yang dapat ditempuh sesuai dengan UUD 1945.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Presiden memiliki kewenangan memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tentu saja, keputusan ini harus mendapat pertimbangan DPR," ujar Yusril, Jumat 27 Desember 2024.
Ia menekankan bahwa kebijakan ini tidak melanggar hukum. Meski dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) disebutkan bahwa pengembalian uang negara tidak menghapus sifat pidana, aturan tersebut dapat dipadukan dengan kewenangan presiden yang dijamin konstitusi.
“Banyak yang menyebut ini bertentangan dengan UU Tipikor. Namun, kita juga harus melihat ketentuan hukum lain, terutama yang bersumber dari UUD 1945,” kata dia.
Yusril juga menyebut pemberian amnesti dapat memberikan peluang bagi pelaku korupsi di dunia usaha untuk tetap berkontribusi terhadap perekonomian. "Setelah mengembalikan uang hasil rasuah, mereka bisa melanjutkan usahanya dengan cara yang benar, sehingga tidak bangkrut dan tetap mendukung perekonomian," ujarnya.
Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas memberikan pandangan berbeda. Ia mengklarifikasi pernyataannya sebelumnya yang menyebutkan bahwa pengampunan bagi koruptor dapat dilakukan melalui mekanisme denda damai. Menurutnya, pernyataan tersebut adalah perbandingan dengan tindak pidana ekonomi lainnya yang merugikan negara.
"Ini kesalahan konteks. Saya membandingkan mekanisme denda damai yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang Cipta Kerja, yang dimungkinkan untuk tindak pidana ekonomi," kata Supratman saat ditemui di kantornya, Jumat 27 Desember 2024.
Supratman menjelaskan bahwa kewenangan pemberian denda damai dalam perkara tindak pidana yang merugikan negara tetap berada di tangan Jaksa Agung, bukan presiden. Ia juga menyebut bahwa mekanisme pengampunan bukanlah hal baru, mengingat pemerintah pernah menerapkan kebijakan serupa di bidang pajak melalui program tax amnesty.
“Kita sudah melakukan tax amnesty dua kali, dan Undang-Undang Cipta Kerja juga mengatur penyelesaian sengketa ekonomi di luar pengadilan. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian masalah tanpa proses hukum yang panjang,” katanya.
Diskusi ini bermula dari pidato Presiden Prabowo Subianto di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada 18 Desember 2024. Dalam pidatonya, Prabowo menyatakan akan memaafkan koruptor yang bersedia mengembalikan uang yang dicuri dari negara.
Wacana ini memicu perdebatan di tengah masyarakat. Sebagian pihak mendukungnya sebagai cara pragmatis untuk memulihkan kerugian negara dan menjaga keberlanjutan perekonomian. Namun, banyak pula yang mengkritik langkah ini sebagai bentuk kompromi terhadap pemberantasan korupsi yang berpotensi mengikis rasa keadilan masyarakat.
Dani Iswara dan Ananda Ridho Sulistya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.