TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menetapkan Setyo Budiyanto sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029. Dalam pemungutan suara yang dilakukan, Setyo berhasil mengamankan 46 suara, dengan 45 di antaranya mendukungnya sebagai ketua.
Meski berhasil terpilih sebagai ketua, jumlah suara total yang diperoleh Setyo Budiyanto berada di bawah Johanis Tanak dan Fitroh Rohcahyanto, yang sama-sama mendapatkan 48 suara. Sementara itu, dua calon lainnya, Agus Joko Pramono dan Ibnu Basuki Widodo, masing-masing memperoleh 39 dan 32 suara.
Proses pemilihan ketua dilakukan dengan mekanisme di mana setiap anggota DPR memilih lima nama sebagai calon pimpinan KPK. Dari nama-nama tersebut, anggota kemudian menentukan satu pilihan untuk posisi ketua.
Profil Singkat Setyo Budiyanto
Setyo Budiyanto adalah seorang perwira tinggi Polri dengan rekam jejak panjang di bidang reserse. Ia merupakan lulusan Akademi Kepolisian tahun 1989 dan lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 29 Juni 1967.
Sebelum terpilih menjadi Ketua KPK, Setyo menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian (Itjen Kementan). Jabatan tersebut diembannya sejak 22 Maret 2024, diikuti dengan kenaikan pangkat menjadi Inspektur Jenderal pada 27 Maret 2024.
Setyo memiliki pengalaman dalam berbagai posisi strategis, termasuk sebagai Direktur Penyidikan KPK, Kapolda Nusa Tenggara Timur, dan Kapolda Sulawesi Utara. Rekam jejak ini menunjukkan kapabilitasnya dalam menangani berbagai tugas berat di institusi penegakan hukum.
Kritik Datang dari Pakar Hukum dan Aktivis
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, mengkritik kinerja Komisi III DPR dalam proses pemilihan pimpinan KPK periode 2024-2029. Menurut Julius, pemilihan ini menunjukkan bahwa agenda pemberantasan korupsi bukan menjadi prioritas utama DPR, terlihat dari terpilihnya sejumlah pimpinan KPK yang diduga memiliki rekam jejak bermasalah.
“Proses seleksi terkesan formalitas. Itu terlihat dari proses fit and proper test yang tidak menggali secara dalam rekam jejak calon pimpinan KPK,” kata Julius dalam keterangan tertulis, Jumat, 22 November 2024.
Ia menambahkan bahwa anggota Komisi III DPR tidak mengupas secara kritis latar belakang para kandidat, termasuk misi mereka dalam memberantas korupsi. Julius menyoroti terpilihnya Johanis Tanak, yang mendapatkan 48 suara dalam pemilihan tersebut. Tanak, satu-satunya petahana yang kembali menjabat, disebut memiliki rekam jejak bermasalah karena dugaan pelanggaran etik selama menjadi pimpinan KPK sebelumnya.
“Dalam paparannya saat fit and proper test, Johanis Tanak juga menegaskan akan menghapus operasi tangkap tangan karena dianggap tidak sesuai dengan aturan KUHP yang berlaku,” katanya
Lebih lanjut, Julius menyatakan bahwa pemilihan lima pimpinan KPK yang baru mencerminkan kurangnya komitmen DPR dan pemerintahan Prabowo Subianto dalam mendorong reformasi di tubuh KPK. Padahal, menurutnya, reformasi KPK merupakan elemen penting dalam memperkuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Calon yang dipilih oleh DPR adalah mereka dengan rekam jejak Kejaksaan dan Kepolisian yang juga tidak efektif dalam melakukan pemberantasan korupsi di lembaga sebelumnya” kata dia.
Selain Julius, Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar juga menilai terpilihnya lima komisioner KPK merupakan gambaran buruk bagi independensi pemberantasan korupsi.
“Dasar pertimbangan dilahirkannya KPK, karena lemah dan tidak objektifnya aparatur penegak hukum pemberantasan korupsi (kepolisian dan Kejaksaan),” kata Fickar kepada Tempo, Jumat, 22 November 2024.
Fickar juga menyatakan pimpinan KPK terbaru didominasi oleh aparat penegak hukum baik yang masih aktif maupun yang sudah purna tugas. Menurutnya, hal itu sangat bertolak belakang dengan semangat berdirinya lembaga antirasuah itu.
“Tuntas sudah KPK menjadi lembaga bagian dari kekuasaan, karena secara sistemik KPK berada di ranah eksekutif yang diisi oleh personel-personel yang berasal dari kekuasaan eksekutif,” kata Fickar.
MICHELLE GABRIELA | NANDITO PUTRA | MYESHA FATINA RACHMAN | DEFARA DHANYA PARAMITHA