TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah atau Pilkada Jakarta 2024 dilaporkan menjadi yang terendah sepanjang sejarah. Angka partisipasi pemilih pada pilkada Jakarta 2024 tercatat hanya mencapai sekitar 4,3 juta suara. Sementara jumlah daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 8,2 juta. Artinya, partisipasi pemilih ada di angka 53,05.
“Kalau memang sekilas kami monitoring kemarin memang tingkat partisipasi di angka 50-60 persennya,” kata Ketua KPUD Jakarta Wahyu Dinata kepada wartawan di kantornya di Jakarta, pada Kamis, 28 November 2024.
Adapun pada pilkada 2007 dan 2012, partisipasi pemilih mencapai sekitar 65 persen. Sedangkan pilkada 2017 jumlahnya meningkat lebih dari 70 persen.
Pengamat politik Adi Prayitno berpendapat partisipasi pemilih di Pilkada Jakarta 2024 yang mencapai 57 persen merupakan partisipasi yang sangat rendah. "Hitung cepat atau quick count Parameter Politik Indonesia (IPI) Pilkada Jakarta hanya 57,2 persen partisipasi pemilih. Itu sangat rendah,” kata Adi ketika dikonfirmasi di Jakarta, Kamis lalu, dilansir dari Antara. ‘
Menurut dia, ada beberapa hal yang menyebabkan partisipasi pemilih di pilkada Jakarta sangat rendah di antaranya jenuh karena baru saja memilih presiden, wakil presiden dan anggota DPR beberapa bulan lalu.
Selain itu, masa kampanye Pilkada Jakarta tidak cukup untuk para kandidat gubernur dan wakil gubernur meyakinkan masyarakat. Selanjutnya ada kemungkinan pemilih di Jakarta merasa kecewa karena masalah fundamental di Jakarta tidak kunjung tuntas meski kota besar tersebut sudah berulang kali berganti pemimpin.
"Silih berganti gubernur. Tapi, persoalan krusial seperti banjir dan macet termasuk soal akses terhadap pekerjaan belum tuntas," kata Adi.
Tidak hanya itu, Adi menyoroti kinerja penyelenggara Pilkada di Jakarta. Dia menilai mereka kurang maksimal dalam bekerja, termasuk menyosialisasikan pelaksanaan pilkada. "Penyelenggara kurang maksimal melakukan sosialisasi terkait pilkada. Padahal anggarannya besar. Jika pun ada sosialisasi, paling bentuknya cuma seminar-seminar di kampus atau di hotel," katanya.
Buntutnya, partisipasi pilkada Jakarta jadi yang terendah. Berdasarkan data ada puluhan TPS di Jakarta dengan tingkat partisipasi pemilih tidak sampai 35 persen. Bahkan, TPS dengan jumlah DPT sebanyak 586 orang seperti di TPS 023 Petojo Selatan hanya didatangi 93 pemilih. Artinya, hanya 15,87 persen pemilik hak suara datang mencoblos. Serta masih banyak TPS lain di Jakarta dengan partisipasi pemilih yang sangat rendah.
Sehingga, kata dia, tidak heran bila kini muncul anggapan legitimasi pemenang Pilkada Jakarta berkurang dan dipertanyakan. "Iya, secara teori legitimasi politik berkurang jika yang datang ke TPS rendah. Demokrasi itu kuncinya di legitimasi rakyat," katanya.
Pemerhati Pilkada Jakarta dari kalangan aktivis muda Muhammadiyah, Wiryadinata mengatakan bahwa legitimasi Pilkada Jakarta yang rendah menunjukkan bahwa pemenang Pilkada tidak mendapat mandat dari masyarakat Jakarta secara total.
Sehingga, lanjut dia, bisa dikatakan bahwa pemenangan Pilkada dengan partisipasi pemilih rendah bukan representasi masyarakat. "Bicara soal legitimasi, kemenangan ini tidak bisa dianggap representatif. Bagaimana mungkin pemimpin yang hanya dipilih oleh sebagian kecil masyarakat dapat mengklaim sebagai perwakilan rakyat Jakarta," kata Wiryandinata.
KPU Jakarta akan melakukan evaluasi dan mengkaji lebih dalam lagi untuk mengetahui secara jelas penyebab turunnya angka partisipasi pemilih di Pilkada Jakarta 2024. "Tentu kami akan lakukan evaluasi dan kajian secara komprehensif untuk mendapatkan data yang lengkap, apa yang menjadi alasan ataupun menjadi faktor penyebab dari menurunnya tingkat partisipasi di Jakarta," ujar Komisioner KPU DKI Jakarta, Fahmi Zikrillah.
Novali Panji Nugroho dan Hendrik Khoirul Muhid berkontribusi dalam penulisan artikel ini.