TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi yang memakan korban jiwa suporter sepak bola kembali terjadi. Kejadian di Guinea, mirip dengan tragedi Kanjuruhan di Indonesia, dua tahun lalu.
Sekitar 135 orang tewas akibat berdesakan di sebuah stadion sepak bola di Guinea tenggara pada Minggu, 1 Desember 2024. Menurut sekelompok organisasi hak asasi manusia setempat yang dilansir dari Reuters, jumlah korban tewas diperkirakan dua kali lipat dari jumlah resmi yang dilaporkan pemerintah sebanyak 56 orang.
Keputusan wasit yang kontroversial memicu kekerasan massa. Polisi pun menembakkan gas air mata selama pertandingan di kota Nzerekore. Gas air mata menyebabkan keributan mematikan saat para penonton mencoba melarikan diri.
Kelompok hak asasi manusia di wilayah Nzerekore mengatakan pada hari Selasa bahwa jumlah korban jiwa diperkirakan lebih banyak berdasarkan informasi dari rumah sakit, pemakaman, saksi di stadion, keluarga korban, masjid, gereja, dan pers lokal. "Kami sekarang memperkirakan 135 orang tewas di stadion, sebagian besar anak-anak di bawah usia 18 tahun," kata kelompok hak asasi manusia dalam sebuah pernyataan. Lebih dari 50 orang masih hilang.
Kelompok tersebut menyalahkan pasukan keamanan karena menggunakan gas air mata berlebihan dan lebih mengutamakan melindungi pejabat daripada penonton. Kondisi makin parah karena kendaraan yang membawa pejabat dan orang lain yang melarikan diri dari stadion telah menabrak penonton saat mereka mencoba melarikan diri.
Suasana di stadion penuh sesak. Gerbang stadion dihalangi oleh pasukan keamanan.
Kelompok HAM mengatakan telah meminta pertanggungjawaban kepada penyelenggara turnamen dan junta militer Guinea. Sebabnya mereka memberikan dukungan teknis dan finansial untuk acara yang menghormati pemimpin militer Mamady Doumbouya. Pemerintah pada hari Senin berjanji untuk meluncurkan penyelidikan. Belum ada tanggapan dari pemerintah ihwal pernyataan kelompok HAM.
Dilansir dari Antara, Perdana Menteri Guinea, Amadou Oury Bah, dalam pernyataan yang disiarkan televisi nasional, menyebut bahwa pihak berwenang sedang menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab atas insiden ini. Sementara itu, Presiden Mamadi Doumbouya mengumumkan tiga hari masa berkabung nasional mulai Selasa, 3 Desember 2024.
Kelompok oposisi, National Alliance for Alternation and Democracy, menuduh turnamen tersebut diorganisasi untuk mendukung ambisi politik Doumbouya yang dianggap ilegal dan tidak tepat.
Tragedi di Guinea ini mirip dengan yang terjadi di Kanjuruhan, Indonesia, dua tahun lalu. Sebanyak 135 penonton yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, tewas saat berdesak-desakan ketika menonton pertandingan sepak bola.
Tragedi tersebut terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022 pasca pertandingan BRI Liga 1 Indonesia antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Tragedi tersebut diawali dengan para penonton yang turun ke lapangan, dalam merespon hal tersebut aparat menembakkan gas air mata yang menyebabkan penonton panik.
Sementara itu, di dalam stadion semakin banyak penonton yang masuk ke lapangan, untuk mencegah semakin banyak penonton yang turun ke lapangan, beberapa personel menembak gas air mata. Terdapat 11 personel yang menembakkan gas air mata ke tribun Selatan dengan tujuh tembakan, tribun Utara satu tembakan, dan tiga tembakan ke lapangan.
Langkah tersebut membuat penonton yang masih tertahan di dalam stadion merasa panik dan secara berbondong-bondong meninggalkan stadion melalui pintu utama stadion, dari situlah muncul banyak korban yang mengalami patah tulang, trauma, kepala retak, dan sebagian meninggal karena asfiksia. Hasil investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM menemukan bahwa banyak korban meninggal disebabkan oleh gas air mata kadaluarsa yang ditembakkan oleh polisi.