Upaya Masyarakat Sipil Menolak RUU TNI, Berujung Dilaporkan ke Polisi

17 hours ago 21

TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah getol menyelesaikan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI. Pembahasan rancangan undang-undang itu telah didiskusikan dalam agenda rapat tim perumus dan tim sinkronisasi, sebelum dibawa ke pembahasan tingkat satu dan paripurna.

Upaya akselerasi dari legislatif dan eksekutif untuk mengesahkan RUU TNI ini mendapat penolakan dari Koalisi Masyarakat Sipil. Sejumlah perwakilan masyarakat sipil itu bergerak menyatakan penolakannya terhadap RUU TNI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka mendatangi Hotel Fairmont Jakarta, tempat Panja RUU TNI dan pemerintah menggelar rapat konsinyering pada 15 Maret lalu. Tiga orang dari koalisi sipil mendesak agar pembahasan RUU TNI segera dihentikan.

Aksi itu digawangi oleh koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras Andrie Yunus. Dasar penolakan masyarakat sipil ini karena kekhawatiran terhadap substansi revisi UU TNI yang berpotensi melemahkan profesionalisme militer. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, ada potensi pengembalian dwifungsi TNI akibat perluasan tentara aktif menjabat di jabatan sipil.

Usai aksi demonstrasi tersebut, kantor Kontras di Jalan Kramat II, Kwitang, Jakarta Pusat disambangi sejumlah orang tak dikenal. Dari tangkapan layar kamera pengawas yang terpasang di depan pagar, tampak dua pria mengenakan pakaian hitam dan seorang lainnya memakai kaos berwarna krem.

Andrie Yunus juga mendapat panggilan telepon secara berkali-kali dari orang yang tidak kenal di malam saat kantornya didatangi orang asing. Dia memilih tidak menjawab panggilan telepon itu sesuai protokol keamanan.

Usai diteror orang tak dikenal, Kontras justru dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Laporan itu diduga dilakukan oleh satpam Hotel Fairmont Jakarta. Laporan bernomor LP/B/1876/III/2025/SPKT/Polda Metro Jaya itu dibuat pada Sabtu, 15 April atau di hari yang sama saat masyarakat sipil menggeruduk rapat tertutup pembahasan RUU TNI.

Berdasarkan informasi yang diterima oleh Tempo, laporan dibuat dengan menggunakan beberapa dasar hukum. Di antaranya adalah Pasal 170 KUHP tentang kekerasan terhadap orang atau barang, Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 406 KUHP tentang perusakan barang milik orang lain, serta Pasal 18 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum karena dinilai mengganggu hak konstitusional peserta rapat. 

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi membenarkan adanya laporan tersebut. “Benar,” kata Ade melalui pesan singkat, Ahad, 16 April 2025.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur akan mengirimkan surat keberatan terhadap pemanggilan aktivis Kontras ke Polda Metro Jaya. “Hari ini kami langsung membuat surat kuasa dan mengirimkan surat keberatan atau penolakan pemanggilan,” kata Isnur saat ditemui di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, pada 17 Maret 2025. 

Dia menilai, ada yang janggal dalam pelaporan atas aksi interupsi Kontras yang menolak RUU TNI di Hotel Fairmont kemarin. Ia mengatakan, semestinya kepolisian tidak boleh memproses laporan tersebut.

Sebab, menurut Isnur, laporan pidana terhadap aktivis Kontras merupakan pembungkaman berekspresi dan menghalangi masyarakat menyampaikan kritik. Bahkan, Isnur menyebutnya sebagai strategic lawsuit against public participation (SLAPP), yakni upaya kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat. 

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyarankan agar Kontras membuat laporan ke Polda Metro Jaya atas dugaan teror yang dialami badan pengurus organisasi tersebut. "Kalau merasa terganggu laporkan saja ke aparat hukum," kata Dasco di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Senin, 17 Maret 2025.

Nandito Putra dan Eka Yudha berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |