Utang Kereta Cepat Membengkak, Menkeu Purbaya Ogah Jika Dilempar ke APBN

2 days ago 19
Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewo / Instagram

JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM — Dulu proyek ambisius kereta cepat Jakarta–Bandung sempat ditolak oleh Menteri Perhubungan tahun 2016 silam karena berbagai alasan yang logis dan realistis.
Namun, Ignasius Jonan harus menerima akibatnya, karena “ditendang” oleh Presiden Jokowi kala itu dan digantikan oleh Budi Karya Sumadi. Kini, penolakan Jonan terhadap proyek ambisius Jokowi itu terbukti kebenarannya.

Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung yang kini dinamai Whoosh menyisakan beban finansial cukup berat. PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) harus menanggung utang pokok dan bunga dalam jumlah besar akibat pembiayaan proyek yang membengkak dari semula US$ 6,07 miliar menjadi sekitar US$ 7,27 miliar.

Mayoritas pinjaman berasal dari China Development Bank (CDB) dengan bunga mencapai 3,7% hingga 3,8% dan tenor hingga 35 tahun. Komposisi kepemilikan proyek itu pun terdiri dari konsorsium BUMN Indonesia sebesar 60% melalui PT Pilar Sinergi BUMN, sedangkan pihak China memegang 40% melalui Beijing Yawan HSR Co. Ltd.

Uniknya, terkait beban keuangan yang kini muncul dan membengkak, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak akan menanggung utang proyek tersebut. Ia berpendapat, tanggung jawab finansial sepenuhnya berada di tangan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai holding BUMN yang menaungi proyek itu.

“Danantara sudah punya manajemen sendiri dan sumber keuangan dari dividen BUMN yang rata-rata mencapai Rp 80 triliun per tahun. Jadi harusnya bisa dikelola dari situ, jangan sampai beban lagi-lagi ditanggung APBN,” tegas Purbaya dalam diskusi di Jakarta, Jumat (10/10/2025).

Menurutnya, prinsip keuangan negara harus dijaga agar tidak tumpang tindih. Selama hasil dividen BUMN sudah tidak masuk lagi ke kas negara, maka tanggung jawab pengelolaan keuangan juga tak seharusnya dilemparkan kembali ke pemerintah.

“Kalau enak dikelola swasta tapi begitu ada masalah dilempar ke pemerintah, itu tidak adil. Saya pikir kita harus konsisten,” ujarnya.

Meski begitu, Purbaya mengaku hingga kini belum ada pembicaraan resmi dari pihak Danantara terkait kemungkinan restrukturisasi utang Whoosh. “Saya belum dihubungi untuk masalah itu. Kalau nanti ada perkembangan, tentu akan saya sampaikan,” katanya.

Sementara itu, Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, menyebut pihaknya tengah menyiapkan dua opsi penyelesaian. Pertama, dengan menambah penyertaan modal kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) agar beban bunga dan cicilan utang bisa lebih proporsional.

Opsi kedua, yakni menyerahkan infrastruktur proyek kepada pemerintah, sementara KCIC hanya menjadi operator tanpa kepemilikan aset (asset-light model). Dengan cara ini, utang infrastruktur akan beralih ke negara dan otomatis menjadi bagian dari beban APBN.

“Apakah nanti ditambah modal atau diserahkan ke pemerintah seperti model kereta api lainnya, itu masih dalam kajian. Kita ingin mencari skema terbaik yang tidak memberatkan siapa pun,” kata Dony.

Di tengah situasi tersebut, publik menilai langkah hati-hati Purbaya cukup beralasan. Pemerintah harus memastikan agar beban proyek strategis nasional seperti Whoosh tidak menjadi “bom waktu” bagi keuangan negara, terutama setelah proyeksi keuntungan proyek masih belum jelas.

Kini, waktu seolah berputar — proyek yang dulu ditolak karena alasan efisiensi dan keberlanjutan keuangan negara kembali menjadi sorotan. Dan sebagaimana dulu Ignasius Jonan pernah memperingatkan, logika bisnis rupanya tetap tak bisa dibungkam oleh ambisi politik. [*] Disarikan dari sumber berita media daring

Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |