TEMPO.CO, Jakarta - IM57+ Institute menanggapi soal vonis ringan Harvey Moeis dan 5 terpidana lainnya dalam perkara tindak pidana korupsi pengelolaan tata niaga komoditas di wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk periode 2015-2022.
"Pertama, putusan itu tidak memenuhi rasa keadilan publik, karena Harvey tidak berkontribusi secara positif dalam membongkar skandal ini seterang-terangnya," ucap Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito melalui pesan Whatsapp pada Sabtu, 28 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Lakso, putusan hakim dengan vonis tersebut hanya dapat dibenarkan apabila Harvey atau terdakwa lainnya, secara inisiatif mau membongkar skandal ini dengan komprehensif. Termasuk membongkar siapa saja pemilik manfaat (beneficial owner) dari kasus korupsi Timah ini.
Ia menuturkan, bahwa peran Harvey yang tidak begitu penting tidak bisa dijadikan alasan untuk meringankan hukuman, apalagi memotong hingga separuh dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
"Alasan Harvey hanya menjalankan dan tidak tercatat sebagai pengurus baik sebagai direksi, komisaris, maupun penegang saham, justru harusnya jadi pintu masuk untuk membongkar kasus ini secara tuntas," ucap Lakso.
"Karena suatu keanehan ketika dia mampu mewakili pengurus tetapk tidak tercatat secara formal," tuturnya lagi.
Lakso kembali menegaskan bahwa satu-satunya alasan yang bisa dibenarkan dalam peringanan hukuman Harvey dan terdakwa lain, hanya ketika dia mau membongkar kasus ini secara tuntas sebagai justice collaborator.
Selain itu, Ketua dari Indonesia Melawan itu juga menilai bahwa vonis ringan hakim atas Harvey, yang notabene bukan pemeran utama kasus ini, menjadi preseden buruk terhadap penegakan hukum di Indoensia. Menurutnya, hal tersebut akan membuat orang yang terlibat tapi bukan pelaku utama bisa mendapat hukuman ringan tanpa membongkar kasus secara tuntas.
"Seharusnya sidang yang begitu heboh ini menjadi suatu preseden baik untuk membongkar skandal setuntas-tuntasnya. Mengingat dari fakta persidangan, Harvey bukanlah pemain utama tetapi tetap tidak membongkar secara tuntas kasus ini," ujar dia.
Sebelumnya, vonis kasus timah ini menimbulkan gejolak di masyarakat. Hukuman yang dijatuhkan hakim dinilai tidak sebanding dengan kerugian negara akibat tindak pidana yang mencapai Rp 300 triliun itu.
Dalam sidang putusan yang berlangsung pada 23 Desember 2024, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Harvey pidana penjara 6 tahun 6 bulan dan ganti rugi senilai Rp 210 miliar. Jika tidak dipenuhi dari harta bendanya, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Eko Ariyanto dengan anggota Suparman Nyompa, Eryusman, Jaini Basir, dan Mulyono itu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Oleh penuntut umum, Harvey Moeis dituntut pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 1 miliar, serta uang pengganti Rp 210 miliar.
Selain Harvey Moeis, majelis hakim juga memvonis terdakwa korupsi timah lainnya dengan vonis yang hampir separuh dari tuntutan Jaksa. 5 terdakwa itu diantaranya adalah Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (Dirut PT RBT), Suparta divonis 8 tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp 4,51 triliun. Hukuman bui ini lebih ringan daripada tuntutan JPU yang menuntut 14 tahun penjara.
Pemilik manfaat PT Stanindo Inti Perkasa (SIP) Suwito Gunawan alias Awi divonis 8 tahun penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp 2.2 triliun. Hukuman ini lebih ringan daripada tuntutan JPU yang menuntut 14 tahun penjara.
Reza Andriansyah dijatuhi pidana penjara 5 tahun tanpa uang pengganti. Sebelumnya, ia dituntut 8 tahun penjara.
Direktur PT Sariwiguna Binasentosa (SBS) Robert Indarto divonis 8 tahun penjara dan membayar uang pengganti sebesar Rp 1.9 Triliun. Hukuman ini lebih ringan daripada tuntutan JPU yang menuntut 14 tahun penjara.
General Manager Operasional PT Tinindo Internusa pada 2017-2020, Rosalina, dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.